Rabu, 10 Desember 2008

Kisah Dua Indonesia Raya

Rabu, 9 Desember, saya mengikuti dua acara yang diawali dengan lagu Indonesia Raya.

Acara pertama, berlangsung di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di kawasan Kuningan, Jakarta . Titelnya, acara puncak peringatan, Hari Antikorupsi Sedunia, yang sejak lima tahun lalu ditetapkan PBB jatuh pada 9 Desember. Meriah sekali suasananya, dihadiri sekitar 20 orang gubernur, termasuk si klimis Hardjuno Darpito yang konon akan menaikkan pangkatnya dari Raja Jawa di Yogya menjadi pemimpin nusantara. Ada juga para Slankers, yang datang karena kelompok musik idola mereka itu tampil sebagai pengisi acara bersama Gigi. Konon, menurut Ketua KPK Antasari Azhar, kedua band ini mengisi acara tanpa dibayar.

Sekilas terpancar rasa kebanggaan semu saat Jaksa Agung Pengawas Dharmono mengumumkan prestasi Indonesia ditinjau dari Indeks Persepsi Korupsi, yang kini berada di posisi 126 dari 180 negara setelah sebelumnya betengger di posisi 140 dari 159 negara.

Klimaks acara ini dirancang pada pembacaan “Deklarasi Antikorupsi Indonesia ”, bunyinya antara lain, “… Kami anak bangsa Indonesia meyakini bahwa korupsi bukanlah budaya bangsa Indonesia, korupsi adalah kejahatan luar biasa, korupsi merampas hak-hak rakyat untuk sejahtera… Pada hai ini, kami menyatakan.. tidak akan melakukan korupsi, menciptakan generasi muda antikorupsi, mengutuk segala bentuk perilaku korupsi, bertekad menjadikan Indonesia sebagai negeri yang bersih tanpa korupsi..”

Tapi, yang menarik bagi saya bukanlah penampilan Armand Maulana, Kaka Bimbim, atau deklarasi ala KPK itu. Saya tercenung saat seorang anak membacakan sebuah puisi. Perempuan kecil itu berasal dari Sekolah Darurat Kartini, yang dikelola Ibu Kembar di kawasan kumuh Jakarta Utara sono. Simaklah kata-katanya bahwa korupsi menghancurka mimpi anak-anak miskin untuk dapat menjadi sarjana, “Kata orang-orang yang mempunyai hati nurani, dampak dari korupsi adalah panjangnya baris kemiskinan, dan korupsi menambah anak-anak bangsa menjadi gelandangan, koruptor adalah sama dengan maling dan rampok… aku ingin koruptor dihukum mati, tanpa peduli pejabat dan orang biasa..”

Ah, seandainya saja WR Supratman tampil langsung di panggung KPK mengiringi nyanyian Indonesia Raya tadi, mungkin dia sudah tertunduk malu mendengar puisi itu. Buru-buru menutup muka tirusnya dengan wadah biola dari jati.

Indonesia Raya kedua terdengar dengan gegap gempita tiga jam kemudian, saat tim nasional Indonesia menjamu Singapura dalam laga terakhir Piala AFF Suzuki di Stadion Gelora Bung Karno. Seperti juga pentas Piala Asia tahun lalu, setiap tim berlambang Garuda main di Senayan, yang paling dikangeni adalah koor massal menyanyikan lagu kebangsaan dari puluhan ribu pendukung pasukan merah-putih. Begitu besar harapan para penonton itu agar harga diri negeri ini dapat terangkat, setidaknya melalui adu kecepatan memasukkan bola dalam gawang.

Anak-anak muda kita yang kaya raya itu, paling rendah mereka digaji 50 juta rupiah per bulannya, berlari ke sana ke mari, diteriaki pelecut semangat tak henti dari penonton yang rela kehilangan uang makannya barang 20 hingga 100 ribu rupiah untuk pengganti tiket dan ongkos transportasi ke stadion.

Asa mereka kandas. Indonesia kalah oleh dua set piece Singapura, yang dikenal sebagai negeri penampung pemain-pemain asing untuk kemudian mendapat naturalisasi di negara pulau itu. Nama-nama seperti Daniel Bennett, John Wilkinson (keduanya asal Inggris), Shi Jiayi (Cina), Mustafic Fahrudin (Serbia), Precious Emuejeraye dan Agu Casmir (Nigeria) dan Alexander Duric (Australia), rela menukarkan warga negara asal mereka menjadi warga Singapur, demi fasilitas dan suasana hidup di negeri yang konon paling bebas korupsi di sekitar Asia itu.

Ah, seandainya saja WR Supratman tampil langsung di pinggir lapangan Senayan mengiringi nyanyian Indonesia Raya tadi, mungkin dia sudah geleng-geleng kepala menyaksikan papan skor di akhir babak kedua. Menyaksikan para jutawan muda yang menggantungkan hidupnya dari bola, ternyata gagal mempertahankan harga diri bangsa ini. Keok oleh negara seupil yang pernah menjadi tempat Gajah Mada mengibaskan debu di kakinya…

Minggu, 02 November 2008

Menanti Sentuhan “Tangan Tuhan”

Diego Armando Maradona, nama itu begitu dipuja-puja di Argentina. Aksi fenomenalnya mengantarkan tim nasional Argentina menjadi juara Piala Dunia 1986 di Mexico tidak saja melambungkan namanya menjadi salah satu pemain termahal saat itu, saat ditransfer dari Barcelona, Spanyol, menuju Napoli, Italia. Kepahlawanannya pun menyihir namanya menjadi dewa baru di negaranya, hingga konon ada sebuah gereja yang memajang “Sang Diego” sebagai pimpinan tertinggi, lengkap dengan ritus penyembahan terhadap kostum nomer sepuluh yang biasa dikenakannya.

Tak hanya di timnas, penampilan Maradona juga moncer di Napoli, hingga membawa klub dari kota miskin di Selatan Italia itu menjuarai Seri A dan gelar-gelar bergengsi di level Eropa. Demikianlah ia terus disanjung, meski kemudian pindah klub ke Sevilla, Newell’s Old Boys (Spanyol) dan gantung sepatu di klub kebanggan negaranya, Boca Juniors. Setelah mendapat kartu merah pada Piala Dunia 1982 di laga melawan Brazil, Maradona membawa Argentina kampiun pada Piala Dunia empat tahun berikutnya, termasuk dengan heboh aksi “tangan Tuhan” di perempatfinal World Cup Mexico itu.

Empat tahun berselang, ia kembali membawa Argentina ke final di Italia, walau akhirnya kandas melawan Jerman di partai puncak. Empat tahun kemudian di Piala Dunia 1994, dalam usia 34 tahun, Maradona masih tampil dalam perhelatan di Mexico itu. Meski gagal mendapat hasil mengesankan, Piala Dunia 1994 pun dicicipinya, dengan membawa oleh-oleh tersingkir karena alasan terlibat skandal dopping

Kini, Maradona kembali masuk timnas. Setelah pada event-event penting sebelum ini, Piala Dunia Jerman dan Olimpiade Beijing, Diego datang sebagai supporter, kali ini pemain terbaik dunia Abad XX itu ditunjuk menjadi pelatih utama. Tugas utama Diego adalah menyihir tim Tango, dari keterpurukan di era Alfio Basile, menjadi kekuatan menakjubkan di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan.

Maradona yang baru merayakan hari ultannya ke-48 berujar, "Tim nasional Argentina seperti sebuah Roll Royce yang tertutup debu, dekil, dan perlu dibersihkan." Maklum, di tim putih bergaris biru langit itu ada banyak nama beken, namun penampilan mereka sangat tidak meyakinkan. Ada nama Javier Mascherano, Lionel Messi, dan Sergio Aguero, namun Dari delapan laga yang mereka lakoni tahun ini, mereka baru sekali menang.
Argentina kini berada di peringkat ketiga klasemen kualifikasi Piala Dunia 2010 zona Amerika Selatan. Setelah kalah oleh Cile, yang membuat pelatih Alfio Basile mundur, Argentina baru mengumpulkan nilai 16, enam angka di belakang pimpinan klasemen Paraguay dan satu angka di belakang Brasil.

Meski banyak yang ragu dengan kemampuan Maradona karena minimnya pengalaman sebagai pelatih, dia mendapat dukungan banyak pihak. Selain Carlos Bilardo, pelatih Maradona pada Piala Dunia 1986, ia akan dibantu dua mantan rekannya Sergio Batista dan Jose Luis Brown.

Apakah sang “tangan Tuhan yang baru memiliki dua CV sebagai pelatih amatiran di klub Deportivo Mandayu dan Racing Club ini benar-benar akan melambungkan tim nasional negaranya? Mari nantikan partai debutnya melawan Skotlandia di Glasgow, 19 November mendatang.

Minggu, 07 September 2008

Memaksakan Liga Ramadhan

Jojo Raharjo

Kali pertama sejak era Galatama dan Perserikatan digabung dalam Liga Indonesia 1994, tahun ini Badan Liga Indonesia PSSI berniat menggelar terus kompetisi Superliga di tengah berjalannya bulan Ramadhan 1429 Hijiriyah.

Unik memang. Alasannya, kompetisi ini sudah memiliki banyak jedah. Setelah perhelatan Piala Kemerdekaan bulan lalu, pada akhir tahun konsentrasi tim nasional tertuju kepada Piala AFF di Jakarta. Konsekuensinya, pertandingan tetap berlangsung di bulan puasa, dengan kick-off digelar lebih malam, yakni beberapa saat setelah Buka Puasa dan Shalat Tarawih. Untuk partai yang disiarkan langsung televisi, pertandingan dimulai jam 21.00 WIB, sementara pertandingan yang tidak ditayangkan televisi, boleh digelar lebih awal.

Unik memang. Alasan lain pertandingan malam hari juga agar para pemain yang beragama Islam tidak terganggu puasanya. Padahal, saya membaca kepala berita sebuah surat kabar Bandung malah menyatakan, “Dokter Tim Sarankan Pemain Persib Tidak Puasa.” Dokter itu menegaskan, sejak sehari sebelum tim ”Pangeran Biuru” turun berlaga, maka para pemain sebaiknya tidak memaksakan diri berpuasa. “Sepakbola olahraga berat,” itu alasannya.

Unik memang. Partai malam ternyata tidak hanya merepotkan para pemain dan dokter tim sebuah klub sepakbola. Panitia pelaksana pertandingan dan supporter fanatik pun harus menyiapkan diri secara ekstra. Di Malang, partai malam antara Arema dan Deltras Sidoarjo diimbangi dengan keamanan ketat antara Stadion Kanjuruhan Kepanjen menuju kampung-kampung kediaman para Aremania, baik ke arah Gondanglegi, maupun ke arah Kota Malang.

Unik memang. Sepakbola Indonesia seperti menjadi sepakbola yang dipaksakan. Ingatkah Anda saat dua minggu lalu tim nasional menjadi juara Piala Kemerdekaan dengan mengalahkan Libya di final di Senayan. Mengalahkan Libya? Berapa skornya? Skornya 1-0 untuk Libya, tapi Indonesia yang menjadi juara karena tim tamu tak mau melanjutkan pertandingan babak kedua dengan alasan keamanan. Insiden ini terjadi setelah pelatih kiper PSSI Sudarno diduga memukul pelatih Libya Gammal hingga kacamatanya pecah. Itulah cara negara kita memaksakan target juara.

Unik memang. Kalau mau menggelar kompetisi di bulan Ramadhan, ya sebaiknya tetap saja digelar sore hari. Perkara puasa atau tidak puasa, itu urusa pribadi masing-masing. Toh siapa yang bisa menjamin kalau pertandingan dimulai ba’da Isya’ maka para pemain, pelatih, panitia, dan supporter pasti menunaikan ibadah puasa?

Unik memang. Karena kalau tak mau repot dengan berbagai kontraversi, ya mending bebaskan bulan Ramadhan dari hiruk-pikuk sepakbola. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada pentas sepakbola di bulan suci, sebagaimana yang tahun ini berlaku di kompetisi Divisi Utama dengan melibatkan Persebaya sebagai pesertanya.

Unik memang. Kalau kita terus menerus berada di negeri yang semuanya selalu dipaksakan.

Kamis, 21 Agustus 2008

Dicari: Parpol Pro Liga Inggris

“Kalau saja ada partai politik yang mengusahakan disiarkannya Liga Inggris di televisi kita, pasti saya akan memilihnya...” Pesan pendek itu datang dari sahabat saya di Banyumas, Jawa Tengah, mengomentari hilangnya tayangan Liga Inggris di televisi terestrial (baca: tv gratisan) dua musim terakhir.

Musim lalu, Liga Inggris –yang dalam sejarahnya pernah ditayangkan SCTV, TV7 dan Trans 7 tanpa biaya- menjadi hak eksklusif Astro, teve berbayar yang menganggap dirinya cabang dari Astro Malaysia. Astro Malaysia, yang dimiliki Anandha Krishna, salah seorang terkaya di negeri tetangga itu, merupakan pembeli hak siar Liga Inggris wilayah Asia Tenggara dari kroni ESPN dan Star Sports. Jadilah, kita rela dijajah negara tetangga selama setidaknya tiga musim kompetisi Liga Inggris mereka pegang.

Maka, mau tidak mau, sejak Maret lalu, saya berlangganan Astro di kontrakan rumah petak saya di Salemba, Jakarta Pusat. Biaya awalnya hanya mengeluarkan Rp 200 ribu untuk ongkos teknisi memasang parabola. Selain itu, cukup dengan membayar Rp 200 ribu untuk iuran bulanan paket wajib dan paket olahraga. Maklum, sebelum anak saya lahir, saya biasa menyaksikan penampilan Liverpool, klub paling hebat dalam sejarah Liga Inggris itu, dari kafe ke kafe. Bergabung bersama teman-teman Big Reds, kelompok supporter resmi Liverpool di Indonesia.

Hanya sempat menyaksikan sebelas laga Liverpool lewat Astro, Barclays Primier League musim 2007/2008 habis sudah. Saya pun bersiap menunggu musim baru 2008/2009 yang berputar mulai 16 Agustus. Rasa tak sabar muncul. Apalagi “Si Merah” membeli beberapa amunisi baru, dan punggawa Spanyolnya sedang besar kepala setelah menjadi jawara Piala Eropa di Austria dan Swiss.

Tiba-tiba petir itu datang. Bukan dari cederanya si homo Ronaldo atau si tampang kuda Drogba selama tiga bulan pertama Liga Inggris. Tapi karena Astro mengakhiri spekulasi kepemilikan hak tayang mereka atas liga terfavorit di dunia itu. Astro Indonesia, yang berada di bawah bendera PT Direct Vision, pecah kongsi dengan Astronya si Anandha Krishna itu.

Dan keluarlah pengumuman, sebuah televisi berbayar baru bernama Aora TV menjadi pemilik siaran Liga Inggris di tanah air dengan harga sekitar 20 juta dolar Amerika atau Rp 184 miliar. TV kabel bernama resmi PT Karya Megah Adhijaya ini dimiliki Rini M. Soemarno, eks Menteri Perdagangan yang juga kakak si bos Pertamina Arie Soemarno itu. Rini berkongsi dengan saudaranya yang lain, Ongky M. Soemarno, mantan petinggi grup Humpuss. Mereka mengawali kiprah dengan menyabet hak resmi olimpiade, lalu Liga Inggris musim 2008/2009.

Para penggemar bola pun kelimpungan di hari perdana Liga Inggris, apalagi akses berlangganan Aora TV belum didapat. Pencinta Liverpool tak kurang akal dengan menggelar nonton bareng via streaming internet atau menemukan kafe di Blok M yang memiliki akses ke TV Singapura.

Tapi, bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur berlangganan Astro seperti saya? Saya telah menandatangani kontrak, bahwa kalau memutus langganan Astro sebelum satu tahun masa berlangganan, akan kena denda Rp 500 ribu!

Bagaimana pula nasib rekan saya di Banyumas tadi? Atau mungkin di daerah-daerah lain yang tidak terjangkau teve kabel? Atau mungkin terjangkau, tapi tidak memiliki dana untuk berlangganan teve berbayar atau sekedar pergi ke warung internet?

Saat itulah, muncul seruan agar pemerintah menyubsidi tayangan Liga Inggris, dengan alasan “demi kepentingan rakyat banyak”. Sama seperti TVRI akhirnya mengambil alih siaran Oiimpiade Beijing sehingga kita dapat menyaksikan langsung detik-detik Markis Kido dan Hendra Setiawan bersujud saat poin akhir mereka membuahkan emas satu-satunya Indonesia. Tapi, apakah tuntutan agar pemerintah membiayai Liga Inggris tidak terdengar berlebihan?

Ah, seandainya saja para parpol itu ada yang benar-benar peduli soal-soal seperti ini. Dan tidak hanya sibuk mencari artis yang menarik untuk diconteng mukanya di kartu suara. Atau sibuk membuang uang untuk pasang iklan bahwa hidup adalah perbuatan, di mana ada kemauan di situ ada jalan, dan mensyukuri Indonesia tetap berdiri kokoh dari Sabang sampai Merauke (meski tak ada lagi tayangan Liga Inggris gratis...)

Saya membayangkan presiden baru nanti berteriak, “Tidak... Indonesia tetap kokoh berdiri. Sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang tidak ketinggalan aksi Liga Inggris...”

Sabtu, 09 Agustus 2008

Dua Emas di Beijing?

Jojo Raharjo

Terlalu lama negara ini lapar akan kehormatan di pentas olahraga. Sebuah sarana pencapaian prestasi yang nilainya dapat menutupi citra buruk bangsa dengan indeks korupsi cukup tinggi. Ya, pentas olahraga memang dapat membuat sebuah negara secara instan dikenal dan mendapat respek di jagad ini, melebihi pengenalan dangkal lain atas identitas bangsa itu. Berulangkali Wakil Presiden Jusuf Kalla menyuntikkan semangat kepada para atlet merah putih dengan kalimat yang sama, “Hanya dua hal dapat membuat bendera dan lagu kebangsaan sebuah bangsa dikibarkan di negara lain: kunjungan kepala negara dan medali emas di pentas olahraga internasional.”

Sayang, kebanyakan dari atlet olahraga kita seperti berpuas dengan istilah “hampir menang”. Prestasi timnas sepakbola di bawah asuhan pelatih Belanda Wiel Coerver yang hampir lolos ke Olimpiade Montreal 1976 terus digembar-gemborkan. Saat itu, pada grandfinal kualifikasi zona Asia, Anjas Asmara dkk kalah adu penalti dari Korea Utara di Stadion Utama Senayan. Begitu pula nyaris lolosnya Bambang Pamungkas dkk dari penyisihan grup Piala Asia tahun lalu, seolah menjadi salah satu bukti prestasi era kepengurusan Nurdin Halid. Padahal, saat itu toh Indonesia hanya sekali menang lawan Bahrain dan sisanya dua kali ditekuk Arab Saudi dan Korea Selatan.

Saya masih duduk di bangku akhir Sekolah Dasar saat Jawa Pos menggambarkan euforia Indonesia meraih medali pertama di Olimpiade Seoul 1988. Kala itu, trio pemanah putri asal Surabaya, Makassar, dan Jakarta –Lilis Handayani, Nurfitriyana Saiman, dan Kusuma Wardhani- sukses membawa pulang medali perak dari cabang panahan ronde FITA beregu.

Empat tahun kemudian di Barcelona lebih fenomenal lagi. Sejarah emas terukir saat bulutangkis kali pertama dipertandingkan di Olimpik dan sepasang kekasih Susy Susanti – Alan Budikusuma menjadi yang terbaik di nomer tunggal puteri dan putera. Selain itu, masih ada dua perak yang dipersembahkan ganda Eddy Hartono/Rudy Gunawan, Ardy Wiranata serta satu perunggu perolehan Hermawan Susanto.

Indonesia Raya kembali berkibar di Olimpiade Atlanta, AS, 1996 dengan keberhasilan duet ganda putera Ricky Subagja/Rexy Mainaky, sementara Mia Audina mendapat perak serta ganda Denny Kantono/Antonius Irianto dan Susy Susanti mengantungi perunggu.

Berlanjut di Olimpiade Sydney 2000, ganda Tony Gunawan/Candra Wijaya meneruskan tradisi emas disertai dua perak lain dari bulutangkis atas kerja keras ganda campuran Tri Kusharjanto/Minarti Timur dan tunggal putra Hendrawan. Sealin itu, lifter Lisa Rumbewas menyabet perak serta dua atlet angkat besi lain, Sri Indriyani dan Winarno menyumbang medali perunu.

Empat tahun lalu di Yunani, bujangan Taufik Hidayat menyelamatkan tradisi emas itu diikuti dua perunggu badminton lain dibawa pulang pasangan Eng Hian/Flandy Limpele dan tunggal putra asal Wonocolo Sony Dwi Kuncoro. Di cabang angkat besi, Lisa Rumbewas kembali membawa oleh-oleh sekeping perak.

Bagaimana dengan 2008? Saat olimpiade kembali digelar di Asia, sama seperti saat 1998 Indonesia pertama kali meraih medali olimpik, masihkah tradisi emas itu terjaga? Terutama dari cabang bulutangkis, yang tiga bulan sebelumnya tercoreng malu karena gagal menjadi yang terbaik di ajang beregu Thomas dan Uber Cup di Jakarta.

Optimisme itu seharusnya masih ada. Baik dari Sonny Dwi Kuncoro, ganda campuran Nova Widianto/Lilyana Natsir, atau juga lifter Eko Yuli Irawan dan Sandow Wildemar Nasution.

Vini Vidi Vici. Mestinya kita masih optimis untuk dapat menyaksikan penutupan Olimpik di Stadion Sarang Burung pada 24 Agustus dengan kalungan medali emas di dada para atlet kita. Karena, kalau harapan itu gagal lagi, maka dunia tetap akan mengenal sebuah kepulauan terbesar di Asia Tenggara dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sebagai negara tukang mark-up, pengekspor asap, dan pembalak liar.

Selasa, 29 Juli 2008

Catatan Awal Indonesia Superruwet League...

Apa komentar Anda tentang perjalanan tiga pekan pertama Superliga? Kasta tertinggi persepakbolaan kita yang label formalnya adalah Indonesia Super League alias ISL...

Sebelumnya, mari coba kita tengok ke belakang, bung. Bagaimana dunia sepakbola Indonesia bermetamorfosa memasuki babak barunya, sesungguhnya bukan merupakan hal baru.

1979, di era Ketua Umum PSSI dijabat Ali Sadikin, bergulirlah sebuah era baru bernama Liga Sepakbola Utama alias Galatama. Bermaksud menyingkirkan dominasi bond perserikatan yang dibiayai APBD macam PSMS, Persija, PSM dan Persebaya, maka lahirlah kekuatan baru klub-klub "semiprofesional" macam Yanita Utama, Niac Mitra, Pardetex Medan, Warna Agung, UMS 80, dan lain-lain...

Begitu dahsyatnya Galatama bergema, sampai-sampai federasi sepakbola Jepang pun berguru ke Indonesia, sebelum mereka meluncurkan J League pada 1990-an, yang sampai kini menjadi salah satu liga termahal di dunia.

Tapi, bagaimana nasib Galatama, sebagai tempat berguru J League itu?

Pada 1980-an, dunia sepakbola kita berkabung. Penyebabnya, empat huruf: S - U - A - P... Tidak di klub, tidak di tim nasional. Klub-klub beken bangsa Warna Agung dan Niac Mitra pun terjangkit penyakit ini. Skorsing demi skorsing dijatuhkan, tapi sebuah skandal tetaplah sebuah skandal yang mencoreng aib bangsa.

Tapi, PSSI bukan tak mau maju. Pada 1995, mereka meluncurkan Liga Indonesia pertama. Saya ingat betul, tabloid olahraga Bola memberi judul cover "Liga Terbesar di Dunia" pada edisi bertepatan dengan laga perdana Liga Indonesia. Awalnya disponsori Dunhill, Kansas, Djarum, sampai Bank Mandiri.

Liga Indonesia dinilai sebagai terobosan karena menggabungkan tim perserikatan dan galatama, serta menghadirkan lima pemain asing dalam sebuah klub (awalnya cuma tiga). Padahal, di era Galatama, Suharto sempat menyetop izin penggunaan pemain asing, yang dinilainya merebut lapangan pekerjaan pemain lokal. Namun, toh, gengsi nasional tetap berkuasa. Di partai final Ligina awal, Persib Bandung tampil sebagai juara lewat gol tunggal Sutiyono melawan Petrokimia Putra Gresik.

Sebagai eks perserikatan, Persib memiliki fanatisme kuat di dada pendukungnya. Mereka tampil tanpa pemain asing, membinasakan Jacksen Tiago, Carlos de Mello dan Daryl Sinnerine dari Petro, meski dalam laga itu gol bersih Jacksen sempat dianulir serta diwarnai satu kartu merah buat tim asal Jatim ini.

Ligina terus berjalan, dengan berbagai compang-camping, mulai dengan perubahan format -dari kompetisi penuh, pembagian dua dan tiga wilayah- sampai peniadaan degradasi secara tiba-tiba. Pernah pula final Ligina V dipindah hingga ke Manado gara-gara supporter PSIS meninggal jelang laga final lawan Persebaya di Senayan.

Kini, atas instruksi FIFA, PSSI mengganti Ligina dengan ISL, dengan berbagai persyaratan kian berat bagi pesertanya, termasuk adanya stadion berstandar internasional, bentuk usaha profesional klub, hingga jenjang pembinaan yunior klub.

Tapi, benarkah itu Liga Super? Saat laga Persija lawan Persita dibatalkan karena Polda Metro Jaya tak memberi izin pertandingan dihelat di Stadion Gelora Bung Karno. Saat pendukung Persib tetap saja tak bisa menerima kekalahan timnya di Stadion Siliwangi dan merusak stadion? Saat nada rasisme masih terdengar di Stadion Brawijaya Kediri ketika Persik membantai PSIS...

Di negara tetangga, ketika negeri kita tengah menggelar Liga Super nan ruwet, Kuala Lumpur menjadi tempat tur Chelsea menjelang mengawali Liga Inggris musim ini. Maskapai Internasional Malaysia Airlines pun menjadi sponsor dan maskapai resmi Chelsea menjalani pra musim ini.

Sementara Indonesia, hanya kedatangan Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund yang hanya hura-hura dan datang sebagai hadiah RCTI menayangkan Bundesliga. Ada juga sih, kunjungan anak-anak muda Selandia Baru yang sepakbola tidak menjadi favorit di negara kiwi itu.

Liga Super nan Ruwet terus akan bergulir. Apakah benar menjadi persiapan kita menuju era sepakbola profesional, atau jangan-jangan tetap sebagai sebuah entitas bisnis, yang dikendalikan dari balik rutan Salemba?

Selamat terus menikmati liga nan ruwet ini..

Selasa, 08 Juli 2008

PON, Masih Perlukah?

Mulai 5 hingga 17 Juli, Pekan Olahraga Nasional (PON) ketujuhbelas berlangsung di enam lokasi di Kalimantan Timur, daerah yang diyakini sebagai provinsi terluas di Indonesia setelah Papua membelah diri.

PON kali ini juga dipercaya sebagai PON terbesar sepanjang sejarah sejak pesta olahraga pertama digelar di Solo pada 1948. Meski lokasi penyelenggaraan masih compang-camping hingga acara dibuka, namun kehadiran lebih dari tiga belas ribu atlet, ofisial, dan wasit memperebutkan 749 medali emas, 749 perak, dan 954 perunggu merupakan rekor baru dalam penyelenggaraan PON enam dasawarsa terakhir.

Biaya 3,9 triliun rupiah, yang bahkan bisa membengkak hingga lima triiliun, juga bukan perkara kecil. Bayangkanlah bila biaya itu disumbangkan kepada panitia pembangunan jembatan Surabaya-Madura, selesai sudah masalah kekurangan dana yang selama ini membelit.

Pertanyaannya sekarang, masihkah kita (benar-benar) membutuhkan PON? Ketika rekor baru jumlah cabang olahraga yakni 43 cabang tercetus, apakah itu benar-benar sebuah prestasi membanggakan? Padahal, banyak di antara cabang-cabang olahraga itu sama sekali tak ada hubungannya dengan jenjang olahraga internasional, bahkan sekelas Sea Games sekalipun. Bisakah anda bayangkan ajang Olimpiade mempertandingkan drum band, dansa, dan sepatu roda? Ah, masih untung tidak ada nomer dakon dan egrang di PON kali ini...

Pertanyaan lain, apakah masih membanggakan sebuah pesta olahraga domestik bila peserta menghalalkan segala cara untuk menjadi yang terbaik? Bajak-membajak atlet dengan saling menawarkan fulus terbesar? Atau bahkan, yang unik, mempergunakan mistis demi meraih emas. Masih ingat saat PON XV/2000 lalu digelar di Jatim, ada-ada saja kejadian unik terjadi. Mulai peselam yang kabur pandangannya di kedalaman Pantai Pasir Putih, Situbondo, para pemanah yang tembakannya pada meleset di Lapangan KONI Kertajaya, bahkan ada pula kain hitam di gawang yang membuat tendangan kesebelasan lawan selalu gagal menjadi gol karena sering membentur tiang. Anehnya, semua peristiwa itu menguntungkan tuan rumah, yang kemudian untuk pertama kalinya sukses menjadi juara umum.

Pada era 1980-an, setidaknya sampai PON 1996 di Jakarta, cabang sepakbola masih menjadi primadona karena di sanalah para pemain terbaik klub profesional tampil atas nama provinsi. Ingat ketika Mustaqim dkk kalah dari Abdurrahman Gurning dan kawan-kawan dalam laga Jatim lawan Sumut? Tapi kini, sepakbola PON adalah ajang pembibitan, jadi yang main adalah anak-anak muda 23 tahun ke bawah, yang mungkin baru mencicipi Liga Super beberapa tahun ke depan. Baik misalnya, bila sarana ini mampu mencetak Boas Salossa dan Budi Sudarsono baru, tapi kemudian menjadi pertanyaan, benarkah semua anak muda itu akan tertampung ke jenjang lebih profesional?

Di PON kali ini pun, greget menjadi berkurang karena atlet-atlet yang akan turun ke Olimpiade dilarang keras turun lapangan. Kalau sampai ketahuan, KONI akan memberi mereka hukuman besar, terutama bagi atlet cabang atletik dan bulutangkis.

PON terus berjalan hingga dua pekan ke depan. PR besarnya bukan hanya sukses pada penyelenggaraan, tapi juga audit pasca acara. Jangan-jangan, timbul pengadilan massal kepada para pimpronya, seperti terjadi di Jatim, delapan tahun silam.

Ayo dukung Jawa Timur... ah, yang benar, hari gini ngomongin asal daerah?

Senin, 30 Juni 2008

Que Viva Espana!

Akhirnya, Spanyol juara juga. Cukup 1-0, dengan gol khas Fernando Torres, penyerang tengah milik Liverpool yang memperdaya Jens Lehmann di menit ke-33.

Ini adalah Piala Eropa ketiga bagi anak-anak La Roja (si merah) setelah di rumah mereka pada 1964 mengalahkan Uni Soviet 2-1. Dua puluh tahun kemudian, ambisi merebut gelar kedua pupus oleh kemenangan 2-0 tuan rumah Perancis, yang saat itu tengah moncer-moncernya era Michel Platini cs. Kini, 24 tahun setelah kekalahan itu, Michel Francois Platini yang sama pula, selaku Presiden UEFA, mengalungkan medali kehormatan kepada Iker Casillas dan kawan-kawannya.

Mengenakan kaos Liverpool merah bernomer sembilan milik Torres saya berada di markas AJI Jakarta di bawah Tugu Pancoran, saat nonton bareng partai Final Piala Eropa ke-13 ini digelar. Sejak awal, banyak yang memperkirakan Michael Ballack akan terbawa sial bila tetap ngotot memakai nomer punggung 13. Dan benar, pengatur serangan Jerman milik Chelsea itu mati kutu dipepet Marcos Senna, darah Brazil di Spanyol.

Spanyol sukses tampil menawan. Bukan dengan cara bertahan, sepert cibiran saat Italia merebut juara dunia dua tahun lalu lewat adu penalti. Selain mematahkan mitos tim yang hanya bagus di babak penyisihan, generasi emas Torres, Villa dan kawan-kawan ini menunjukkan Spanyol kini adalah Spanyol menyerang, bukan lagi tim defensif layaknya di masa Emilio Butragueno, Julio Salinas, dan Andoni Zubizarreta.

Que Viva Espana, Jayalah Spanyol.. Selamat buat Spanyol, selamat buat kemenangan sepakbola indah, selamat buat kita semua…

Jumat, 27 Juni 2008

At Last, Final Ideal…

Terus terang, saya menghadapi sebuah perjudian besar saat pertama kali menulis prediksi bahwa Jerman akan bertemu Spanyol di puncak Piala Eropa di portal berita iddaily.co.cc ini sehari menjelang perhelatan akbar itu dimulai.

Namun, saya tidak gentar. Pun, ketika ada prediksi-prediksi lain beterbangan di sela-sela dua pekan pesta bola miniatur Piala Dunia ini: “Jerman lawan Portugal… Spanyol lawan Belanda, Italia lawan Spanyol, Portugal lawan Belanda…” dan lain-lain.

Bagi saya ada setidaknya ada beberapa alasan mendasar mengapa saya memilih Tim Panser berhadapan dengan Para Matador di semifinal. Pertama, jelas, ketika mengusulkan dua tim terbaik berlaga di partai perebutan juara, kita tidak bisa asal menyebut dua tim unggulan. Perhatikan juga plot atau skema kejuaraan itu.

Di Piala Eropa ini sudah jelas, tim-tim dari Grup A dan B bertemu dalam satu lot (kita sebut lot kiri), begitupula tim-tim dalam Grup C dan D di lot berikutnya (kita sebut lot kanan). Jadi, tidak akan mungkin Portugal (Grup A) akan bertemu dengan Jerman (Grup B) di final. Paling banter, mereka akan bertemu di semifinal. Sayangnya, karena ‘kenthir’-nya Jerman sehingga kalah melawan Kroasia di penyisihan Grup B, maka Cristiano Ronaldo sudah harus bertempur melawan Mikhael Ballack di perempatfinal. Kemenangan Ballack cs di perempatfinal itulah yang kemudian menjadi pembuka pintu ke final, setelah mereka sukses menewaskan Turki 3-2 dalam penentuan tim-tim terbaik dari lot kiri.

Begitupula Belanda, yang begitu dahsyat menerkam Italia dan Perancis di Grup C, tidak mungkin di final mereka bertemu dengan Spanyol, yang juga meraih angka sempurna di Grup D. Paling top, skenarionya mereka ketemu di semifinal lot kanan. Sayang, karena Marco van Basten kalah tua dari Guus Hiddink, Belanda menyerah 1-3 dari Rusia di perempatfinal. Maka, jadilah, partai ulangan penyisihan Grup D ketika Spanyol membantai Rusia 4-1 terjadi lagi di semifinal. Hasilnya? You know lah, Spanyol kembali menang dengan margin tiga gol dan melangkah ke final mewakili tim-tim lot kanan.

Sekarang, ketika akhirnya dua tim terbaik dari tiap lot itu bertemu pada Senin dini hari nanti, Jerman vs Spanyol, apakah saya akan keukeuh tetap memegang Spanyol sebagai juara?

Saudara, saya bukan Deddy Corbouzier, yang saat ini juga tengah menggelar pertunjukan serupa, menebak hasil akhir Piala Eropa, di Kemang sana. Saya semata-mata hanya mendukung Spanyol karena ada empat pemain Liverpool di sana. Persoalan ketika seorang kawan, Revolusi Riza dari Trans 7 meledek bahwa rasa Francesc Fabregasnya Arsenal lebih kuat daripada Liverpool di Spanyol, itu masalah lain. Faktanya, Fernando Torres memberikan peranan penting bagi tim Spanyol. Adapun tiga pemain lain memang spesialis cadangan, Xabi Alonso baru dua kali main, sementara kiper Jose Reina dan Alvaro Arbeloa baru sekali main dalam partai hiburan melawan Yunani. Sampai-sampai situs resmi Liverpool pun mengumumkan kegembiraan mereka dengan lolosnya para duta Anfield ini ke final Euro 2008, dengan memasang judul “Joy for Reds Quartet as Spain Triumph. Liverpool will have four representatives in the final of Euro 2008 after Spain produced a magnificent second-half display to overcome Russia in Vienna…”

Faktor lain, berilah sedikit kekuatan alternatif berkuasa. Tidak hanya di dunia politik, tapi juga di pentas sepakbola. Jerman adalah tim paling konsisten di dunia. Layaknya MU di Inggris atau PSM Makassar di Indonesia, yang nyaris selalu masuk tiga besar dalam kejuaraan yang mereka ikuti. Tapi, apakah Anda tidak bosan kalau yang berkuasa itu-itu saja?

Faktor ketiga, tentu soal teknis. LIhat saja, jumlah gol dan agresivitas permainan. Bagaimana tank Jerman masih membutuhkan menit ke-90 untuk mengakhiri perlawanan Turki yang timnya amat compang-camping karena kebanyakan pemain cedera. Sementara di semifinal lain esoknya, Spanyol tetap perkasa, menang 3-0, meski duo bomber David Villa dan Fernando Torres tidak bermain penuh karena alasan berbeda. Spanyol juga sukses meruntuhkan mitos selalu tampil buruk saat main dengan kostum away (kuning) karena kebetulan Rusia menang dalam perebutan siapa yang berhak memakai kaos merah.

Maka, mari begadang di tempat pilihan kita masing-masing pada Senin dini hari, dan, atas nama cinta pada perubahan, saya mendukung tim merah marun itu.

Selasa, 24 Juni 2008

Never Say Give Up!

Jojo Raharjo

Hidup adalah perjuangan. Dan, perjuangan tidak boleh berhenti sampai peluit panjang kehidupan benar-benar ditiupkan. Pelajaran itulah yang bisa kita petik dari perjalanan melelahkan tim-tim yang berjuang keras untuk membalikkan keadaan dari ketertinggalan, serta mereka yang ngotot ingin menohok para pengamat sepakbola yang seenaknya saja menganggap timnya sebagai “anak bawang”.

Turki, contohnya. Pada 2002, Hakan Sukur dan kawan-kawan sukses meraih peringkat ketiga setelah menaklukkan tuan rumah Korea 3-2. Di semifinal, Turki membuat Brazil harus bekerja sangat keras sebelum menyingkirkannya dengan kemenangan tipis.

Namun, di Piala Eropa kali ini, tak banyak yang menyangka Turki mampu lolos dari Grup A, dari hadangan Swiss, Ceko, dan Portugal. Dua nama itulah yang semula diprediksikan melenggang dari grup ini. Namun, Turki menunjukkan semangat pantang menyerah yang tak terduga. Setelah takluk 0-2 dari Portugal di laga awal, dua pertandingan berikutnya mereka mainkan dengan indah. Tuan rumah Swiss, negara yang memupuskan harapan Turki tampil di Piala Dunia 2006 Jerman, menahan malu karena menelan kekalahan pahit 1-2, setelah gol Arda Turan di menit 90 membuyarkan keadaan. Sebelumnya, Swiss sempat unggul lebih dulu 1-0 lewat sontekan Hakan Yakin, pemain Swiss berdarah Turkiye.

Begitupula di partai penentu melawan Ceko, tim dengan jumlah gol dan nilai yang sama. Alih-alih harus perpanjangan waktu dan adu penalti, Turki menang 3-2 dengan drama nyaris serupa. Ketinggakan 0-2 lebih dulu, pada 15 menit terakhir sebuah gol Turan dan dua gol Nihat Kahveci mengantar Turki mendampingi Portugal dari Grup A.

Melawan jawara Grup B Kroasia di perempat final, mimpi buruk kembali dihantarkan anak asuh Fatih Terim ini. Dunia seakan kiamat bagi para pendukung Turki saat semenit menjelang perpanjangan waktu usia, sundulan Klasnic menghantar Kroasia unggul 1-0. Namun, tiba-tiba sebuah umpan jauh dari kiper Turki Rustu Reber berbuah manis. Umpan itu disambut tendangan voli Semih Senturk yang menghujam keras gawang Kroasia. Blam.. ganti kepala pelatih Kroasia Slaven Bilic yang serasa pecah ketika adu penalti pun kemudian berpihak pada Turki. Tiga penendang Turki berhasil menunaikan tugasnya, sementara tiga dari empat eksekutor Kroasia gagal berkarya.

”Gol penyeimbang Turki membuat kanmin drop,” itu alasan Bilic. Sebaliknya, Terim berujar, ia memang meminta anak asuhnya tidak menyerah hingga pertandingan benar-benar usai. Begitulah, mantan pelatih AC Milan itu menyampaikan timnya ke gerbang semifinal menghadapi Jerman, sebuah negara yang menjadi tempat imigrasi favorit bagi rakyat Turki.

Di lain pihak, keberhasilan tim non unggulan macam Rusia mengalahkan Belanda juga menghadirkan warna tersendiri. Gus Hiddink, membuktikan dirinya ”lebih oranye” daripada Marco van Basten, yang masih begitu muda saat Hiddink menjadi pelatih klub juara dunia PSV Eindhoven 20 tahun silam.

So, Jerman ketemu Turki di semifinal, dan Rusia menghadapi Spanyol di partai senifinal satu lagi. Di tengah berantakannya skenario babak penyisihan hingga semifinal yang saya susun dua pekan lalu, saya masih bisa tersenyum seandainya partai final akan mempertemukan Jerman melawan Spanyol, tepat seperti ramalan edan saya yang kemudian berharap Spanyol keluar sebagai jawara.

Ah, tapi bukankah Spanyol lolos ke semifinal saja sudah untung? Bukankah mereka mesti terseok-seok di perempatfinal sebelum menang adu penalti lawan Italia, sementara Rusia begitu memukau menggilas Belanda? Jangan-jangan, Rusia yang maju ke partai puncak melawan Jerman, atau (jangan-jangan lagi) Turki membuat sekuel drama lebih dramatis di semifinal?

Ini demokratis, bung. Silahkan berpendapat apa saja. Yang penting, ambil hikmah Piala Eropa dari kisah hero para ksatria bola itu. Bahwa perjuangan hidup tidak benar-benar kelar, sampai peluit panjang benar-benar terdengar. Karena itulah, Queen pernah bernyanyi, ”We’re the champion, my friend... and we’ll keep on fighting til the end…”

Minggu, 15 Juni 2008

Belanda Memang Edan..

”Ancene Londo edan,” tulis Revolusi Riza, seorang rekan jurnalis televisi asal Surabaya yang kini menetap di ibukota, dalam pesan pendeknya menjelang subuh, jam 03:15, Sabtu akhir pekan lalu.

Pesan pendek itu dikirimnya menyambut pesta-pora Belanda menghancurkan runner-up tim ayam jago Perancis pantas membuat para pendukungnya bergembira-ria (belakangan ada istilah menarik untuk ini, yakni ’europhoria’). Betapa tidak, dalam Grup C yang dibilang sebagai grup neraka, terdapat tiga tim yang disebut unggulan yakni Belanda, Italia, dan Perancis, ditambah kuda hitam Rumania.

Nah, Belanda baru memainkan dua dari tiga pertandingan penyisihan grup, dua-duanya berakhir dengan kemenangan besar, 3-0 melawan Juara Piala Dunia 2006 Italia, dan 4-1 melawan runner-up Piala Dunia 2006 Perancis. Gol-gol Dirk Kuyt, Arjen Robben, Wesley Sneijder, dan Robie van Persie semakin memantapkan langkah tim oranye sebagai yang terbaik dari grup panas ini.

Belanda memang edan. Dua kemenangan beruntun yang ”tidak main-main” ini seperti melampiaskan kekesalan mereka setelah empat tahun lalu gagal berpartisipasi di Portugal. Saat itu, saya ingat betul, menghabiskan malam-malam Piala Eropa dari kantor AJI Surabaya nan sempit di Ketintang.

Menjadi saksi kandasnya Wayne Rooney dkk lewat adu penalti dari Portugal, yang kemudian melengkapi kisah getir Sven Goran Erriksson: tiga kali membawa Inggris keok dari pelatih yang sama: Luiz Felipe Scolari, kalah dari Brazil 1-2 di Piala Dunia Korea-Jepang 1-2, dan dua kali adu penalti lawan Portugal di Piala Eropa Portugal 2004 serta Piala Dunia Jerman 2006.

Ah, lupakanlah Inggris. Saya memang penggemar berat Inggris, karena itu masih ada sedikit rasa kecewa tidak menyaksikan tim tiga singa tampil di Austria dan Swiss. Tapi, itu toh bukan alasan bagi saya untuk tidak ikut terjebak hingar-bingar turnamen sepakbola yang statusnya selevel di bawah Piala Dunia ini.

Karena itulah, mungkin Anda masih ingat, kolom saya pekan lalu memaparkan ramalan saya tentang skema Juara Piala Eropa kali ini. Anda boleh berharap serius dari prediksi saya. Karena setidaknya, hingga tulisan ini saya buat pada Minggu siang 15 Juni, dua tim unggulan dari tiap grup yang saya prediksikan lolos memiliki peluang besar untuk tidak pulang kampung lebih awal.

Bahkan, analisa saya bahwa dua tim tuan rumah dan tim juara bertahan Piala Eropa akan tersingkir di babak awal, nyata-nyata sudah terbukti 90 persen, tinggal menunggu nasib Austria besok malam. Sebenarnya, magis Piala Eropa ini akan semakin jelas, jika saja saya boleh menambah satu ramalan lagi: Juara Dunia 2006, tim negeri pizza Italia akan pulkam lebih dulu juga.

Senin dini hari nanti, salah satu dari Ceko atau Turki akan terpilih menyertai Portugal di Grup A. Sekali lagi, saya menegaskan, saya memilih Ceko.

Grup B, Kroasia sudah pasti lolos. Siapa pendampingnya? Jerman, Polandia, atau Austria? Atas nama kemeriahan sepakbola, saya mendambakan Jerman mengatasi Austria dan maju ke babak delapan besar.

Grup C, sesuai sms Revo tadi, Belanda sudah jadi kampiun di grup neraka. Saya konsisten memilih tim ayam jago Perancis menaklukkan Italia sebagai pendamping. Tidak usahlah sampai adu penalti, untuk membalaskan kegagalan eksekusi menyakitkan David Trezequet yang mengurungkan Perancis gagal menjadi juara dunia di Jerman.

Grup D, Spanyol sudah lolos. Kalau saja, Anda membaca tabloid Bola kemarin, prediksi saya tentang dua wakil tiap grup nyaris sama persis dengan prediksi Pimred Bola Ian Situmorang di halaman 3. Bedanya di Grup D ini. Bang Ian menjagokan Swedia mendampingi Spanyol, sedangkan saya tetap memilih Rusia –tim yang lolos dari grup kualifikasinya Inggris itu- sebagai pemenang dalam partai paling menentukan grup ini: Swedia versus Rusia, pada Kamis, 19 Juni di Innsbruck, Austria.

Kalau Anda percaya serius ramalan saya, silahkan. Tapi, kalau tidak, juga tidak masalah, karena saya jelas-jelas bukan Roy Suryo atau Dedy Corbuzier yang saling berbalas ramal itu. Saya tegaskan saja, saya akhirnya memilih Spanyol sebagai Juara Piala Eropa kali ini, tak lain karena ada empat pemain Liverpool di sana. Sebuah jumlah fantastis, dan bahkan dua tim kelas berat Spanyol, Real Madrid dan Barcelona, pun tak mampu menyumbang pemain timnas sebanyak itu.

Begitupun kalau saya sepakat dengan sms Revo tadi. Saya mendukung Belanda juga karena ada Dirk Kuyt di sana, seorang lagi perwakilan warga kota Liverpool setelah Ryan Babel tiba-tiba cedera sepekan menjelang kejuaraan. Saya gembira, hingga dua pertandingan awal, Kuyt dan Fernando Torres masing-masing sudah menyumbang satu gol dan sedikitnya satu assist langsung bagi Belanda dan Spanyol.

Teruslah bergulir Europass, hadirkan keedanan-keedanan itu, dan mari kita tunggu, benarkah Torres dan Kuyt akan bertemu di semifinal, untuk selanjutnya, salah seorang di antaranya akan mengangkat tinggi-tinggi Piala Henry Delaunay 2008!

Jumat, 06 Juni 2008

Apa Kata Bola (Bukan Pegangan Taruhan)...

Jojo Raharjo

Piala Eropa kembali menyapa. Bagi mereka yang pusing direcokin dengan pemberitaan dan aksi massa menentang naiknya harga BBM, bisa beristirahat sejenak. Bagi mereka yang jengah dengan gelontoran berita anarkisme Aksi Monas dan kontraversi sosok Munarman, inilah saatnya ”OOT – Object Oriented Turning”.

Tentu dari sejak kick off awal berbunyi di St Jakob Park, Swiss, yang menarik adalah menebak siapa tim tertawa terakhir di partai puncak di Stadion Ernst Happel, 30 Juni mendatang. Nah, saya mencoba menawarkan tebak-tebakan jawara Piala Eropa hingga partai puncak. Sekedar terkaan awal, saya memperkirakan duo tuan rumah Euro 2008 ditambah juara bertahan Yunani akan tersungkur di babak pendahuluan.

Dari Grup A yang dihuni Portugal, Swiss, Ceko, dan Turki, saya menjagokan Portugal keluar sebagai juara didampingi Ceko.

Dari Grup B berisi Austria, Kroasia, Jerman, dan Polandia, saya memfavoritkan Jerman dan Kroasia lolos ke babak kedua.

Di Grup ”Neraka” C milik Italia, Belanda, Perancis, dan Rumania kemungkinan Belanda akan lolos didampingi Perancis.

Di Grup D ada Yunani, Spanyol, Rusia, Swedia, saya meramal Spanyol akan bergandengan dengan wakilnya Rusia.

Alhasil, di perempatfinal akan saling bertemu Portugal melawan Kroasia, Jerman bertemu Ceko, Belanda berhadapan dengan Rusia, dan Spanyol versus Perancis. So, di semifinal Portugal bersua Jerman, dan Spanyol melawan Belanda.

Akhirnya, Spanyol akan tampil bersama Jerman di partai final. Jerman, tim yang paling konsisten di Eropa akan bertemu Spanyol tim yang dikenal sebagai ”macan kertas”. Mimpi saya, Luis Aragones, Carlos Puyol, dan Fernando Torres akan mengangkat piala Henry Delauney dan mengakhiri predikat tim yang selalu gagal di putaran final.

Anda setuju tim Negeri Matador akan sukses jadi juara? Setuju, boleh, tidak juga tidak masalah... Namanya juga bola itu bundar, jadi biarkanlah semua bergulir apa kata bola. Sekedar refreshing, sebelum awal Juli kita memasuki masa kampanye pemilu terpanjang di negeri ini: sembilan bulan lewat sepekan, layaknya seorang ibu sedang mengandung!

Senin, 02 Juni 2008

Lupakanlah Problema, Selamat Datang Piala Eropa…

Bagi Anda yang suka mengotak-atik teori dan praktek ilmu komunikasi politik, hal ikhwal pengalihan isu yang menjadi agenda setting media massa bukanlah hal aneh. Untuk menutupi sebuah pemberitaan yang dinilai kurang menguntungkan penguasa, maka kemudian penguasa mencoba menggulirkan isu lain yang lebih besar, sehingga mendadak menjadi sorotan media dan menenggelamkan isu lama itu. Teori ini benar, meski kadang terlalu berlebihan, untuk mengaitkan satu peristiwa yang kemudian ditumpuki peristiwa besar lainnya.

Sama berlebihannya ketika dalam sebuah aksi solidaritas di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya untuk mengenang meninggalnya aktivis HAM Munir, Oktober 2004 lalu, seorang kawan berujar sinis mengenai meledaknya kantor Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta Selatan, yang terjadi hanya dua hari setelah Munir ditemukan meninggal di atas pesawat Garuda jurusan Jakarta-Belanda. ”Wah, jangan-jangan bom Kuningan ini untuk mengalihkan perhatian kita dari misteri meninggalnya Cak Munir,” katanya.

Bolehlah Anda menganggap guyonan itu berlebihan. Tapi, tumpuk-menumpuk isu memang bukan hal susah, terutama bagi mereka yang memang menguasai ilmu, dan mempunyai kekuasaan secara riil, bagaimana mengontrol media. Di tengah berita naiknya harga bahan pokok muncullah isu NAMRU, di tengah kenaikan harga BBM berita bergeser ke wacana iklan politik, bantuan kompensasi mahasiswa dan penyerangan polisi ke kampus, belum kelar soal penyerangan polisi ke kampus muncullah aksi anarkis FPI di acara deklarasi ”Menegakkan Indonesia” di Monas, belum tuntas berita penyerangan FPI di Monas, bersiap hadirlah Piala Eropa... Hehe...

Piala Eropa akan menyita perhatian kita antara 7 hingga 30 Juni mendatang. Swiss dan Austria menjadi co-host menjamu 14 kontestan lainnya. Ibarat masakan, hidangan lezat para penggila bola ini sedikit kurang garam tanpa absennya Inggris, negara yang tak hanya mengklaim diri sebagai asal muasal sepakbola, tapi juga memiliki kisah heroik dalam urusan penggalangan massa. Kapten Liverpool Steven Gerrard nyata-nyata mengaku, absen di Piala Eropa tahun ini menyebabkan sakit hati (heartache) mendalam curriculum vitae persepakbolaan.

Seorang sahabat membisikkan alasan humanis di balik kekalahan 2-3 Inggris atas Kroasia di Wembley, sekaligus menamatkan mimpi pasukan Steve McClaren menembus Euro 2008. Saat itu, di tengah hujan deras yang menaungi perjuangan keras Beckham dan kawan-kawan membongkar pertahanan Kroasia, sang pelatih justru enak-enakan duduk di bangku ofisial dengan payung melindungi kepalanya. Ketika kesebelasan Inggris memasuki adegan menegangkan, berkali-kali kamera televisi menangkap McClaren menenggak botol minuman, tanpa sekalipun pantatnya beranjak dari kursi. Ini berbeda dengan tipikal pelatih lain, yang kerap berdiri, lalu berteriak dan hilir-mudik di pinggir lapangan kala timnya mengalami tekanan.

Akhir dari kisah malasnya mantan pelatih The Boro itu sudah kita ketahui: Inggris menanggung malu di kandang, gagal lolos ke Euro, dan McClaren dipecat. Belakangan berhembus kabar, ia mencoba mencari peruntungan lain melatih di negeri kincir angin, jauh dari tanah leluhur yang dikenal sebagai bangsa pekerja keras di lapagan bola. Ya iyalah, dengan fenomena malas bergerak di tengah hujan deras membasahi para pejuangnya seperti itu, klub Inggris mana mau menampungnya?

Tapi, tanpa Inggris, bukan berarti Euro 2008 tidak akan berlangsung. Mari sama-sama kita nikmati perhelatan yang tahun ini digelar untuk yang ke-13 kalinya sejak 1960 pertama kalinya berlangsung di Perancis dan dijuarai Uni Soviet itu.

Satu hal patut Anda catat, sepakbola selalu menghadirkan mujizat, yang tentu saja, tidak mudah ditebak. Namanya juga keajaiban. Masih ingatkah Anda saat 1992 Denmark menjadi juara dengan mengalahkan Jerman 2-0 di final di Swedia? Padahal saat itu tim Dinamit Denmark tampil mendadak dengan menggantikan Yugoslavia yang sebulan sebelum turnamen mendapat skorsing dari FIFA akibat krisis politik di negara itu.

Euro 1996 diawali dengan kampanye ”Football Coming Home” seiring keinginan Inggris menjadi juara di kampung sendiri, tepat 30 tahun setelah mereka menjadi kampiun dunia di Piala Dunia 1966, yang juga berpuncak di Wembley. Endingnya, Alan Shearer dan kawan-kawan menelan pil pahit adu penalti di semifinal, dan gol ajaib pemain pengganti Oliver Bierhoff dalam partai yang pertama kali diberlakukannya sistem sudden deat atau gol emas di perpanjangan waktu.

Euro 2000 yang digelar bersama Belanda dan Belgia sukses membuat Perancis menyandingkan Piala Eropa dengan Piala Dunia yang direbutnya dua tahun sebelumnya di Paris. Inilah masa di mana generasi emas Perancis di bawah kepemimpinan Zinedine Zidane kembali menancapkan kukunya.

Mujizat terbesar tentu, jika Anda belum menderita penyakit lupa ingatan, keberhasilan Yunani menjadi juara empat tahun lalu dengan menyingkirkan tuan rumah Portugal 1-0 di final. Negara liliput dalam jagad bola itu sukses membawa pulang Trophy Henri Delaunay, diabadikan dari nama sekjen pertama UEFA, sebagai oleh-oleh penyelenggaraan Olimpiade di Athena sebulan kemudian.

Jadi, hikmah dan mujizat apa yang akan kita petik dari Euro tahun ini? Spanyol menjadi juara untuk kedua kalinya? Jerman sukses untuk keempat kalinya? Akan muncul negara baru sebagai pencatat sejarah? Atau, jangan-jangan hanya sebagai katarsis dan pengalihan isu dari berbagai kejadiaan menyesakkan di kampung kita? Dan Anda pun ikut-ikutan bersenandung, ”Lupakanlah problema, anggap saja tiada, jangan biarkan terbawa resah di dada, sambutlah Piala Eropa di depan mata...”

Selasa, 27 Mei 2008

Inspirasi Bang Ali

Inspirasi Bang Ali

Untuk Think Sport pekan ini, izinkanlah saya mengutip tulisan Kompas, mengenai figur almarhum Ali Sadikin. Bang Ali dikenal sebagai figur pemimpin yang tegas, penuh karisma, tanpa kompromi, dan langsung turun ke bawah, seperti pengalamannya menangkap langsung pencopet di bus kota di hari-hari awal kepemimpinannya di Jakarta.

Saat saya melayat sekaligus meliput di rumah duka di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, pekan lalu, berbaur aneka tokoh. Mulai mantan tahanan politik, budayawan, jenderal, sampai presiden. Kompas menulis sisi lain dari Bang Ali saat bersentuhan dengan dunia olahraga. Simaklah:

Ketika menjabat sebagai ketua umum PSSI antara 1977-1980, Ali Sadikin (almarhum) pernah marah besar. "Kalau ingin melihat pemain bersabar, bentuk saja kesebelasan malaikat!" Ungkapan Letjen TNI/Marinir ini keluar saat timnas Indonesia gagal di
semifinal SEA Games 1977 di Kuala Lumpur. Para pemain Indonesia disingkirkan oleh Thailand setelah para pemain kedua kesebelasan terlibat perkelahian pada pertandingan yang dipimpin pengadil dari Malaysia.

Pemain timnas Indonesia, Andi Lala terkena kartu merah dan kapten kesebelasan saat itu, Iswadi Idris terlibat pertikaian dengan penonton Malaysia. Bahkan penjaga gawang Ronny paslah yang terkenal sabar pun terpancing emosinya atas keputusan yang diambil wasit. Tayangan langsung melalui TVRI saat itu langsung "membakar" emosi rakyat Indonesia. Tidak terkecuali Ali Sadikin yang saat itu menjabat sebagai ketua umum PSSI. Ketika ada pihak yang mengritik emosi para pemain Indonesia yang dianggap labil, Ali Sadikin langusng mengeluarkan istilah "kesebalsan malaikat" itu.

Ali Sadikin terpilih sebagai ketua umum PSSI lewat Sidang Luar Biasa (SLB) Majelis Permusyawaratan PSSI menggantikan ketua umum lama, Bardosono dan akan menjabat antara 1977 hingga 1981. Sebelumnya, saat masih menjadi penjabat Gubernur DKI Jakarta (1977) Ali Sadikin banyak mengritik perkembangan sepakbola nasional di bawah ketua umum lama, Bardosono.

Pada era Ali Sadikin, PSSI memperkenalkan sepakbola semi pro yang kemudian dikenal dengan nama Liga Sepakbola Utama (Galatama). Mulai bergulir pada 17 Maret 1979 dengan diikuti 14 klub seperti Indonesia Muda, Jayakarta dan Warna Agung. para pemain timnas langsung berbondong-bondong masuk klub-klub semi pro ini.

Kompetisi Galatama sempat menjadi barometer di Asia sehingga menjadi bahan studi banding negara lain, seperti Malaysia dan Jepang. Namun kemudian semakin kehilangan pamornya. Sayangnya, pretasi timnas pun tidak pernah mencapai puncak. Pada SEA Games 1979 di Jakarta, timnas dikalahkan Malaysia di di final. Sementara di Pra Olimpiade 1980, kita berprestasi buruk.

Di era awal Galatama ini pula, isu suap merajalela dan kemudian berimbas pada prestasi timnas. Pada Pra Olimpiade 1980, Indonesia kalah untuk pertamakali dari Brunei dan kalah 1-6 dari Malaysia. Kekalahan yang tidak pernah dialami pada masa jaya PSSI 1950-1970-an. Ali Sadikin sudah mengisyaratakan saat itu ada sesuatu di balik kekalahan-kekalahan tersebut. Ia mengatkan, "Teknis pemain yang hebat dan tinggi tidak ada artinya tanpa disertai dengan jiwa dan kepribadian yang kuat."

Pada 6 Oktober 1980, Ali Sadikin mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PSSI, meski masa tugasnya baru berakhir pada 1981. Saat itu dirinya sedang menjadi sorotan karena menjadi salah satu penandatangan Petisi 50 yang mempertanyakan beberapa pernyataan politik Presiden Soeharto.

Itulah. Mengutip Bang Ali, Kompas benar. Butuh mental juara dan jiwa kepribadian untuk membentuk seorang juara. Tidak cukup dengan keahlian skill dan modal pengalaman. Mental juara dan kesederhanaan. Karena itu, para pemain bola kita pun sebaiknya tidak lantas berlagak menjadi “orang kaya baru”. Dengan harga kontrak dan gaji bulanan yang tinggi, maka ia membeli mobil mewah yang jumlah pemiliknya di Indonesia hanya bisa dihitung jari. Atau berlomba memacari artis. Atau memilih gaya hidup dugem serta berakrab-akrab ria dengan narkoba.

Jadi, kalau di Tambaksari awal 1980-an para pemain berani mati berkostum Niac Mitra sukses memukul Arsenal, maka yang terjadi di Senayan pekan lalu –beberapa jam setelah Bang Ali dimakamkan- adalah anak-anak muda kaya raya yang bengong dipermainkan Oliver Kahn dan kawan-kawan. Tim nasional berlogo Burung Garuda menang… ya.. menanggung malu dipukul Bayern Munich 1-5 di depan puluhan ribu penggila bola kita.

Selamat jalan, Bang Ali… keteladananmu menginspirasi kami. Semoga dari alam baka sana, suatu saat nanti, ruhmu memandang kesebelasan negeri ini dengan pemain-pemain berkarakter dan berkepribadian tangguh.

Minggu, 18 Mei 2008

Kado Melas Harkitnas

Uraian kalimat motivator itu masih terpampang di dinding pintu masuk Istora Senayan, tempat turnamen Piala Thomas dan Uber digelar pekan lalu. “Ada Thomas, Ada Uber, piala yang lepas, ayo Diuber! Satu berjuang di lapangan, dua ratus juta doa memberi kekuatan.”

Akhirnya semua kalah. Baik tim Thomas maupun Uber Indonesia urung memberi kado Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional. Meski dipuji setinggi langit karena tampil dengan semangat tinggi, toh Maria Kristin dan kawan-kawan gagal menaklukkan dominasi China di partai puncak. Yang putra lebih melas lagi. Datang membawa berjuta harapan menjadi juara, Sony Dwi Kuncoro dan rekan-rekannya menyerah dari Korea di semifinal.

Saya menjadi saksi, betapa lagu ”Satu Nusa Satu Bangsa” membahana usai kekalahan tim Uber Merah Putih. Para penonton di Istora Senayan pun tetap menganggap anak buah Susy Susanti itu sebagai pahlawan, karena semangat juang mereka dinilai luar biasa. Namun, seperti kata Taufik Hidayat usai kalah dari Leew Hyun-Ill di semifinal, ”A lost is a lost...” Kalah ya kalah...

Kita masih kalah. Kita masih berada dalam sebuah ”negeri jargon”. Seperti maraknya aneka terpaan iklan yang menampilkan sosok para politisi menebar pesonanya menjelang pemilihan umum tahun depan, dengan mencuri momen Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional.

Ialah Soetrisno Bachir, Wiranto dan Prabowo Subianto yang lagi terlanda penyakit “post celebrities syndrome” sehingga merasa perlu membuang miliaran rupiah untuk iklan propaganda pencitraan diri mereka. Menurut pengamat LIPI Hermawan Sulistyo, “post celebrities syndrome” adalah gejala dari orang yang dulu biasa terkenal dan dikerubuti wartawan lalu kini mendadak tenggelam. Lewat berbagai cara, termasuk memasang iklan nan mahal, mereka mencoba mendongrak popularitasnya kembali.

Hidup adalah beriklan… eh, perbuatan. Tiba-tiba saya teringat pada mata kuliah ilmu komunikasi paling dasar, bahwa untuk dapat sampai ke sasaran secara tepat, sebuah pesan harus dibungkus dalam kemasan yang tepat pula. Istilah yang begitu melekat pada kepala saya selaku mahasiswa baru saat itu adalah “packaging”. Paketlah pesan dalam kemasan yang menarik.

Tapi, kemudian menjadi persoalan, bagaimana bila kemasannya justru lebih menonjol daripada isi pesannya? Sehingga kemudian muncul ledekan lain di kalangan praktisi komunikasi, “Ingat, yang penting kesan, bukan pesan!” Sebuah pesan, meski sebenarnya isinya ciamik, bila dipaket secara asal-asalan tidak akan menimbulkan daya tarik bagi khalayak. Sebaliknya, sebuah paket yang menawan mampu membungkus sebuah substansi yang sebenarnya biasa-biasa saja, menjadi memikat nan menggiurkan audiensnya. Masih ingat iklan pemilu 2004, “Kapan lagi punya presiden ganteng?” Nah lo….

Hidup adalah perbuatan, eh... beriklan. Bisakah Anda membayangkan, seandainya ongkos puluhan milyar rupuah untuk perencanaan, produksi, hingga penayangan iklan tadi disumbangkan untuk mengangkat derajat kaum miskin Indonesia dari Sabang sampai Merauke tanpa banyak gembar-gembor? Berapa beasiswa dapat diberikan dengan uang sebanyak itu? Berapa subsidi untuk guru honorer dapat dibagikan dengan lembar-lembar miliaran rupiah? Berapa ton bibit dan pupuk dapat dibagikan untuk petani? Berapa kiloliter solar dapat diterima nelayan yang sulit melaut karena krisis BBM? Dan lain-lain... Tapi, ah masak iya, hari gini masih ada orang berbuat baik tanpa publikasi?

Saya pun terkenang saat beberapa tahun lalu sempat bekerja di sebuah perusahaan jasa konsultasi media dan penyelenggara even milik salah seorang presenter berita televisi ternama. Satu frase yang saya kenal dari mulut si mbak, adalah frase ’uhek-uhek’, untuk mengganti istilah ’basa-basi yang menyebalkan’. ”Ah, acara ini terlalu banyak uhek-uheknya, tidak to the point,” begitu keluhnya melihat deretan sambutan yang membungkus sebuah kegiatan. Atau kali lain, si mbak berteriak keras, ”Jojo, kalau bikin proposal langsung saja, jangan terlalu banyak uhek-uhek...”

Sayang, saat ini kita hidup di tengah sebuah bangsa yang terlalu banyak uhek-uhek dibanding bertindak. Seandainya saja, ungkapan ’sedikit bicara banyak bekerja’ benar-benar kita terapkan, maka kebangkitan Indonesia yang kita dambakan tidak akan butuh waktu terlalu lama lagi.

Bangkitlah Indonesia, mari berbuat, karena hidup adalah perbuatan tanpa pamrih, bukan uhek-uhek semata...

Sabtu, 10 Mei 2008

Nasionalisme, Profesionalisme, dan Materialisme

Nasionalisme, Profesionalisme, dan Materialisme

Pertengahan pekan lalu, setelah tim bulutangkis Piala Thomas Indonesia berlatih di Istora Senayan, saya mencegat Taufik Hidayat. Setelah mengeringkan peluhnya, tunggal kedua Indonesia itu asyik bercengkerama dengan Natarina Alika Hidayat, puteri hasil pernikahannya dengan Armidianti alias Ami Gumelar, anak mantan Ketua Umum KONI Agum Gumelar.

Saya menanyakan kepadanya tentang arti Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional bagi seorang atlet yang telah berkali-kali mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia. Tak terduga, inilah jawabannya yang terekam di kotak suara saya, “ Saya berharap, momen penting ini dapat menjadikan perubahan di bangsa ini, terutama untuk nasib para atlet yang selama ini telah bekerja keras untuk mengharumkan nama bangsa. Menurut saya, nasionalisme buat seorang atlet jangan diragukan lagi, karena setiap kali bertanding kami membawa nama bangsa. Tapi apa yang diberikan pemerintah dan negara buat atlet selama ini? Nggak ada kan?” Ia kemudian bergegas masuk ke sedan putih bernomor polisi seperti nama isterinya, B 4 MI.

Tak lama, rekan saya seorang jurnalis berjalan mendekat. “Itulah, Jo. Hati-hati kalau ngobrol dengan Taufik. Bisa kena kick balik kamu,” katanya.

Taufik tidak salah. Ia hanya mencurahkan isi hatinya. Dengan caranya. Baru-baru ini, ucapannya juga dimuat di sebuah koran nasional, menuntut pemerintah memberi insentif lebih bagi mereka yang berprestasi di Olimpiade Beijing, Agustus mendatang. “Bonus Rp 1 miliar bagi peraih medali emas itu terlalu kecil. Duit segitu sekarang tidak artinya,” ungkapnya.

Uuuupsss… satu miliar tidak ada artinya? Seribu juta rupiah?

Tapi, mari kita melihatnya secara obyektif. Taufik Hidayat tentu tidak ingin nasibnya seperti Gurnam Singh, seorang pensiunan pelari maraton peraih tiga emas Asian Games 1962 yang menghabiskan usia senja di Medan dengan menjual piala dan medali yang diperoleh saat masa jayanya. Pernah ia menjadi berita di Sinar Harapan karena berada di Jakarta tanpa punya uang cukup. tersendiri.

”Sebagai mantan atlet nasional, saya ingin bertemu dengan Ibu Presiden Megawati,” ujar Gurnam kala itu. Gurnam juga menyebutkan bahwa obsesinya bertemu Mega memang telah ada sejak beberapa tahun lalu. Selagi ada undangan gratis ke Jakarta, Gurnam pun tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Namun apa mau dikata, dengan penampilan yang tak lebih dari seorang ”gelandangan”, Gurnam pun harus menyimpan mimpinya itu. ”Pernah beberapa waktu lalu saya melihat Pak Taufik Kiemas (Suami Megawati/red) jogging di Stadion Madya, namun oleh pengawalnya saya dilarang mendekat,” keluh Gurnam. Padahal, dalam benaknya ia hanya ingin berkeluh kesah dengan Megawati yang tak lain anak Presiden RI pertama Soekarno yang begitu memanjakan atlet nasional di era 60-an.

Gurnam Singh akhirnya meninggal dunia di Blok M, Jakarta, saat berkelahi minta uang yang akan digunakannya untuk mabuk-mabukan.

Taufik tentu tidak juga ingin menjadi seperti seorang mantan juara tinju nasional Bisenti Santoso yang hidupnya terlunta-lunta di Malang. Atau seperti Elyas Pical, juara dunia pertama Indonesia yang sempat dibui karena kedapatan mengedarkan narkoba di sela-sela tugasnya menjaga klab malam. Kini, Eli memang “ditampung” bekerja di Kantor Menpora, tapi tentu itu bukan sebuah pekerjaan layak untuk seorang yang pernah membawa nama Indonesia begitu dihormati di ring tinju.

Taufik, dan juga para atlet bulutangkis lain, telah mengorbankan waktu, tenaga, dan impian sebagai “anak muda normal” dengan berpeluh di lapangan. Tak banyak waktu pacaran dan, apalagi, kuliah. Jadi, tak pantaskah ia menginginkan masa tuanya terjamin? Bagi Taufik, alih-alih bonus Rp 1 miliar, ia memilih mendapat tunjangan yang diberikan setiap bulan hingga akhir hayatnya.

Konsep dana abadi ini, sejauh ini baru diterapkan PSSI, yang secara rutin mengirim uang Rp 75 ribu kepada peraih medali emas Sea Games 1987 dan 1991. Jumlah uang itu kini memang tidak ada artinya bagi Ferryl Raymond Hattu dan kawan-kawan. Tapi, itulah sebuah perhatian, selain bentuk-bentuk lain yang lebih “sustainable”, memberi pekerjaan, misalnya.

Di lapangan bulutangkis yang sama, saya juga menjumpai Rexy Mainaki, mantan pebulutangkis ganda putera Merah Putih yang kini melatih tim Malaysia. Sebelumnya, peraih medali emas Olimpiade 1996 berpasangan dengan Ricky Subagja ini tercatat sebagai pelatih tim Inggris. Soal fasilitas di kedua negara itu, jangan ditanya. Angkanya sudah hampir menembus Rp 100 juta tiap bulan. Belum termasuk fasilitas lain seperti mobil, apartemen, dan pendidikan anak. “Bagi saya main di mana saja sama. Tapi saya harus bersikap profesional, fokus mendukung kerja tim kita. Masak kalau pukulan pemain Malaysia masuk saya diam, sementara kalau Indonesia dapat angka saya malah kasih tepuk?” kata nyong Ambon yang pertama kali memperkuat Indonesia di Piala Thomas saat Malaysia menjadi tuan rumah 1992 ini.

Di lapangan Istora itu pula ada sepasang suami isteri peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992, Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Pasangan yang menikah sebelas tahun lalu ini hadir dengan kapasitas masing-masing. Alan sebagai Wakil Ketua Panitia turnamen Thomas dan Uber Cup, sementara Susi menjabat Manajer Tim Uber Cup Indonesia. Mereka berdua juga dikenal karena bisnis alat-alat olahraga, khususnya raket badminton, bernama Astec, singkatan dari “Alan Susi Technology”.

Olahraga memang tidak semata karena hobi. Keringat, dan terkadang darah, menuntut penghargaan yang layak dari pihak-pihak yang dibela. Tengoklah kisah para pemain Levante, klub gurem di La Liga Spanyol, pekan lalu. Sebelas pemain Levante tidak bergerak saat peluit kick-off dibunyikan wasit dalam partai melawan Deportivo La Coruna. Sebelas pemain Levante ngambek di tengah lapangan sambil bergandeng tangan karena gaji mereka belum dibayar klub terlilit hutang yang pasti terdegradasi musim depan itu. Aksi para pemain Levante ini mendapat tepuk-tangan dari para pendukungnya yang juga tengah prihatin. Sementara itu, tindakan sportif dilakukan pemain Deportivo saat gelandang Sergio Gonzalez membawa bola melewati pemain Levante yang hanya diam dan menembakkan bola keluar garis gawang.

Profesionalisme dan jaminan hidup tak bisa dipisahkan dari urusan nasionalisme dan sportivitas olahraga. Di mana hati senang, pikiran tenang, di situlah kemenagan akan datang.

Selamat berjuang para atlet, maju terus Tim Thomas Cup Indonesia.

Kamis, 01 Mei 2008

Third Time Lucky

Genap sudah dua tim yang bakal berlaga di Final Liga Champions di Stadion Luzhniki Moskow, 21 Mei mendatang. All England Final terjadi dengan bertemunya Manchester United melawan Chelsea, dua tim yang juga sedang berpacu sengit di lintasan perebutan juara Liga Premier Inggris, yang berakhir 11 Mei mendatang.

MU sukses melaju ke partai puncak, yang terakhir mereka alami sembilan tahun lalu, setelah mengalahkan Barcelona 1-0 dalam dua pertandingan. Tendangan geledek Paul Scholes di Old Trafford memupus kesan negatif permainan bertahan tim ‘Setan Merah’ dalam laga semifinal perdana di Nou Camp, sepekan sebelumnya.

Adapun duel yang dilakoni Chelsea jauh lebih dramatis. Setelah meraup gol away dalam partai 1-1 di Anfield, dini hari tadi, tim biru dari London ini menyudahi perjalanan Liverpool lewat keunggulan 3-2 via perpanjangan waktu di Stamford Bridge. Sebuah kemenangan yang memperpanjang rekor sembilan kali tak terkalahkan atas Liverpool di kandang Chelsea, dalam empat tahun di berbagai even kompetisi.

Ini juga menyembuhkan sakit Chelsea yang dua kali dibekuk Liverpool di Semifinal Liga Champions 2005 di Anfield, lewat gol ajaib Luis Garcia, dan 2007, melalui adu penalti nan menyesakkan. “Third time lucky”, ungkapan itu membahana di berbagai media Inggris saat undian mengharuskan Chelsea kembali berjibaku dalam semifinal Liga Champions tahun ini, untuk ketiga kalinya dalam empat musim turnamen paling bergengsi antar klub Eropa itu.

Awalnya, saya tak percaya pada “third time lucky” itu. Apalagi saat di paruh babak kedua, Fernando ‘Si Bocah’ Torres sukses mengakhiri pacekilik gol The Reds, yang sejak 2004 mandul di Stamford Bridge. Kemenangan dan gol terakhir Liverpool di kandang Chelsea dicetak lewat sepekan Bruno Cheyrou, kala The Pool masih ditangani Gerrard Houllier.

“Final Liga Champions ini akan jadi milik Chelsea.” Hampir dua bulan lalu, ungkapan itu datang dari seorang penggemar Liverpool saat kami nonton bareng partai Liga Inggris di Red’s Corner, markas Big Reds, alias kelompok resmi supporter Liverpool di Indonesia. Saat itu, babak perempatfinal Liga Champions pun belum kelar, namun keyakinan sudah tersembul di benak kawan ini. Alasannya sederhana, final ini berlangsung di Moskow, kampung Roman Abramovic, pemilik Chelsea yang menjadi orang kaya di London karena bisnis minyak, namun justru dikejar-kejar tunggakan pajak di negerinya itu.

“Ah, masak sih Liga Champions UEFA bisa diatur seperti itu?” bantahku.

“Lho, jangan salah, Jo. Mafia sepakbola Eropa jauh lebih canggih dari PSSI. Kita ini belum ada apa-apanya,” katanya lagi.

Benar atau tidak, heaven knows. Faktanya, pelatih Liverpool Rafael Benitez merasa kecewa atas panjangnya waktu tambahan dari pengadil Konrad Plautz asal Austria saat laga semifinal pertama, yang membuat John Arne Riise kemudian ‘menyumbang’ sebuah gol bunuh diri sebagai poin plus Chelsea. Fakta lain, di leg kedua, pelanggaran Sammy Hyypia pada Mikhael Ballack dihukum wasit Roberto Rosetti dari Italia dengan eksekusi penalti Lampard, sementara saat poros halang asal Finlandia itu jatuh di kotak terlarang, Liverpool tidak mendapat kompensasi serupa.

Jadi, mana yang benar, “third time lucky”, “mafia sepakbola Eropa”, atau memang Chelsea dan MU adalah dua tim terbaik Eropa tahun ini, sekaligus membalas kesedihan Inggris yang tim nasionalnya gagal berpartisipasi di Piala Eropa di Swiss dan Austria Juni-Juli mendatang?

Ah, ngomong-omong soal kerja keras dan hinggapnya keberuntungan, sebuah pesan masuk ke kotak surat seluler saya, “Pepatah Arab mengatakan Man Jada Wa Jadda, siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan beruntung…”

Selamat menikmati putaran akhir Liga Champions tahun ini, tiga pekan mendatang dan… You’ll Never Walk Alone…

Kamis, 24 April 2008

Welcome Back Bu Indah..

Jojo Raharjo

Indah Kurnia is back. Ungkapan itu tepat untuk menggambarkan kembalinya Indah Kurnia menjadi manajer tim Persebaya Surabaya pada musim kompetisi 2008/2009.

Di hari-hari pertamanya kembali ke Persebaya, Top Skor, harian olahraga satu-satunya di Indonesia, memasang profil Indah Kurnia dalam rubrik “Personal” di koran edisi Senin, 17 Maret lalu. Judulnya cukup ‘provokatif’: Indah Spesialis Main di Bawah. Ini mengingatkan perjalanan Indah yang didapuk menjadi Manajer Persebaya dua tahun lalu, saat “Bajul Ijo” menjalani masa susah di Divisi I akibat hukuman PSSI.

Toh, tangan dingin mantan Kepala Cabang Bank BCA Tunjungan Surabaya itu sukses kembali mengangkat bond kebanggaan 4 juta warga Kota Pahlawan kembali ke kasta tertinggi sepakbola Indonesia. Stadion Brawijaya, Kediri, menjadi saksi saat Persis Solo tumbang dan sundulan Nova Arianto memastikan Persebaya menjadi yang terbaik di Divisi I. Sayang, saat Green Force mentas kembali ke Divisi Utama, Indah mesti meninggalkan kursi panas itu.

“Saya sepertimya ditakdirkan untuk selalu main di bawah. Saya punya pengalaman untuk itu. Saya akan berusaha keras mengantarkan Persebaya kembali disegani di pentas sepakbola nasional,” kata Indah, sebagaimana dikutip Top Skor. Perempuan kelahiran 11 Agustus, 47 tahun lalu ini menegaskan, target awalnya adalah membentuk tim solid sesuai deadline Ketua Umum Persebaya Saleh Ismail Mukadar.

Isteri Jerry Raymond ini sebenarnya punya modal besar untuk itu: kedekatan dan keakraban dengan pemain dan akses-akses lainnya. Harus diakui, pendekatan perempuan jelas berbeda dengan laki-laki. Empati, itulah kuncinya. Kelebihan ini ditampilkan Indah Kurnia saat menyatakan keprihatinannya atas pemecatan Mursyid Effendy, pemain paling setia di Persebaya. Meski tak lagi menjabat manajer, Indah sedih mengapa ikon “Bajul Ijo” asal Benowo itu bisa dengan mudah digusur.

Kalau toh ada kelemahan, bagaimana perempuan berkarakter Leo seperti Indah bisa menyimpan sisi bengis yang ada pada personifikasi orang dengan rasi kelahiran sepertinya. Mestinya, yang dimaksimalkan adalah sisi positif bintang itu: tegas, berwibawa, berkemauan keras, dan sedikit egois untuk memastikan semua impian terwujud.

Tidak mudah mencari referensi wanita yang gila bola, dan rela mengeluarkan uangnya tanpa banyak perhitungan seperti Indah. Bahkan di dunia internasional, nama-nama perempuan di bidang bisnis olahraga belum ada seujung kuku geliat para pria.

Kalaupun ada, akhirnya yang muncul ya Rita Subowo, pengusaha yang aktivis voli, dan kini menjadi Ketua Umum KONI serta Komite Olimpiade Indonesia. Kalau mau ditarik ke belakang, muncullah nama Diza Rasyid Ali, perempuan yang dijuluki “Makassar Soccers’ Mother” ini pernah memanajeri dua klub besar: Persija Jakarta dan PSM Makassar. Semasa di tim oranye, Diza mencetuskan berdirinya wadah supporter “The Jakmania”, yang kemudian dikenal mampu meredam perkelahian antar kampung serta menyatukan warga ibukota nan amat plural itu. Diza kini dikenal sebagai Direktur MFS alias Makassar Football School 2000 sekaligus memimpin Pemuda Pancasila di kampung halamannya sana.

Tak ubah dengan Diza, Indah juga terjun di belantara politik. Sebagai Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Jatim bidang Informasi dan Komunikasi, hari-hari tidak mudah akan dijalani Indah dalam dua perahu itu. Apalagi kini tensi politik Jawa Timur dipastikan meningkat menjelang pemilihan gubernur serta persiapan Pemilihan Umum tahun depan. Ini tentu belum terhitung perahu bisnis perempuan yang juga menjabat Ketua Surabaya Entertainers Club itu.

Yang pasti, para pencinta sejati Persebaya tidak akan rela dinomerduakan. Tuntutan mereka pasti: Kembalikan Persebaya ke era masa jaya, ke era M. Basri, era Budi Juhannis, Putu Yasa, Mustaqim dan Muharrom Rusdiana, ke era Yusuf Ekodono, Anang Ma’ruf, Aji Santoso dan Reinald Pietersz, serta ke era saat gelar juara terakhir kali dipersembahkan Mursyid Effendy, Hendro Kartiko, Khairil Anwar, Kurniawan, dan Uston Nawawi empat tahun silam.

Selamat bekerja, Bu Indah, bonek-bonek die hard butuh momonganmu…