Selasa, 27 Mei 2008

Inspirasi Bang Ali

Inspirasi Bang Ali

Untuk Think Sport pekan ini, izinkanlah saya mengutip tulisan Kompas, mengenai figur almarhum Ali Sadikin. Bang Ali dikenal sebagai figur pemimpin yang tegas, penuh karisma, tanpa kompromi, dan langsung turun ke bawah, seperti pengalamannya menangkap langsung pencopet di bus kota di hari-hari awal kepemimpinannya di Jakarta.

Saat saya melayat sekaligus meliput di rumah duka di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, pekan lalu, berbaur aneka tokoh. Mulai mantan tahanan politik, budayawan, jenderal, sampai presiden. Kompas menulis sisi lain dari Bang Ali saat bersentuhan dengan dunia olahraga. Simaklah:

Ketika menjabat sebagai ketua umum PSSI antara 1977-1980, Ali Sadikin (almarhum) pernah marah besar. "Kalau ingin melihat pemain bersabar, bentuk saja kesebelasan malaikat!" Ungkapan Letjen TNI/Marinir ini keluar saat timnas Indonesia gagal di
semifinal SEA Games 1977 di Kuala Lumpur. Para pemain Indonesia disingkirkan oleh Thailand setelah para pemain kedua kesebelasan terlibat perkelahian pada pertandingan yang dipimpin pengadil dari Malaysia.

Pemain timnas Indonesia, Andi Lala terkena kartu merah dan kapten kesebelasan saat itu, Iswadi Idris terlibat pertikaian dengan penonton Malaysia. Bahkan penjaga gawang Ronny paslah yang terkenal sabar pun terpancing emosinya atas keputusan yang diambil wasit. Tayangan langsung melalui TVRI saat itu langsung "membakar" emosi rakyat Indonesia. Tidak terkecuali Ali Sadikin yang saat itu menjabat sebagai ketua umum PSSI. Ketika ada pihak yang mengritik emosi para pemain Indonesia yang dianggap labil, Ali Sadikin langusng mengeluarkan istilah "kesebalsan malaikat" itu.

Ali Sadikin terpilih sebagai ketua umum PSSI lewat Sidang Luar Biasa (SLB) Majelis Permusyawaratan PSSI menggantikan ketua umum lama, Bardosono dan akan menjabat antara 1977 hingga 1981. Sebelumnya, saat masih menjadi penjabat Gubernur DKI Jakarta (1977) Ali Sadikin banyak mengritik perkembangan sepakbola nasional di bawah ketua umum lama, Bardosono.

Pada era Ali Sadikin, PSSI memperkenalkan sepakbola semi pro yang kemudian dikenal dengan nama Liga Sepakbola Utama (Galatama). Mulai bergulir pada 17 Maret 1979 dengan diikuti 14 klub seperti Indonesia Muda, Jayakarta dan Warna Agung. para pemain timnas langsung berbondong-bondong masuk klub-klub semi pro ini.

Kompetisi Galatama sempat menjadi barometer di Asia sehingga menjadi bahan studi banding negara lain, seperti Malaysia dan Jepang. Namun kemudian semakin kehilangan pamornya. Sayangnya, pretasi timnas pun tidak pernah mencapai puncak. Pada SEA Games 1979 di Jakarta, timnas dikalahkan Malaysia di di final. Sementara di Pra Olimpiade 1980, kita berprestasi buruk.

Di era awal Galatama ini pula, isu suap merajalela dan kemudian berimbas pada prestasi timnas. Pada Pra Olimpiade 1980, Indonesia kalah untuk pertamakali dari Brunei dan kalah 1-6 dari Malaysia. Kekalahan yang tidak pernah dialami pada masa jaya PSSI 1950-1970-an. Ali Sadikin sudah mengisyaratakan saat itu ada sesuatu di balik kekalahan-kekalahan tersebut. Ia mengatkan, "Teknis pemain yang hebat dan tinggi tidak ada artinya tanpa disertai dengan jiwa dan kepribadian yang kuat."

Pada 6 Oktober 1980, Ali Sadikin mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PSSI, meski masa tugasnya baru berakhir pada 1981. Saat itu dirinya sedang menjadi sorotan karena menjadi salah satu penandatangan Petisi 50 yang mempertanyakan beberapa pernyataan politik Presiden Soeharto.

Itulah. Mengutip Bang Ali, Kompas benar. Butuh mental juara dan jiwa kepribadian untuk membentuk seorang juara. Tidak cukup dengan keahlian skill dan modal pengalaman. Mental juara dan kesederhanaan. Karena itu, para pemain bola kita pun sebaiknya tidak lantas berlagak menjadi “orang kaya baru”. Dengan harga kontrak dan gaji bulanan yang tinggi, maka ia membeli mobil mewah yang jumlah pemiliknya di Indonesia hanya bisa dihitung jari. Atau berlomba memacari artis. Atau memilih gaya hidup dugem serta berakrab-akrab ria dengan narkoba.

Jadi, kalau di Tambaksari awal 1980-an para pemain berani mati berkostum Niac Mitra sukses memukul Arsenal, maka yang terjadi di Senayan pekan lalu –beberapa jam setelah Bang Ali dimakamkan- adalah anak-anak muda kaya raya yang bengong dipermainkan Oliver Kahn dan kawan-kawan. Tim nasional berlogo Burung Garuda menang… ya.. menanggung malu dipukul Bayern Munich 1-5 di depan puluhan ribu penggila bola kita.

Selamat jalan, Bang Ali… keteladananmu menginspirasi kami. Semoga dari alam baka sana, suatu saat nanti, ruhmu memandang kesebelasan negeri ini dengan pemain-pemain berkarakter dan berkepribadian tangguh.

Minggu, 18 Mei 2008

Kado Melas Harkitnas

Uraian kalimat motivator itu masih terpampang di dinding pintu masuk Istora Senayan, tempat turnamen Piala Thomas dan Uber digelar pekan lalu. “Ada Thomas, Ada Uber, piala yang lepas, ayo Diuber! Satu berjuang di lapangan, dua ratus juta doa memberi kekuatan.”

Akhirnya semua kalah. Baik tim Thomas maupun Uber Indonesia urung memberi kado Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional. Meski dipuji setinggi langit karena tampil dengan semangat tinggi, toh Maria Kristin dan kawan-kawan gagal menaklukkan dominasi China di partai puncak. Yang putra lebih melas lagi. Datang membawa berjuta harapan menjadi juara, Sony Dwi Kuncoro dan rekan-rekannya menyerah dari Korea di semifinal.

Saya menjadi saksi, betapa lagu ”Satu Nusa Satu Bangsa” membahana usai kekalahan tim Uber Merah Putih. Para penonton di Istora Senayan pun tetap menganggap anak buah Susy Susanti itu sebagai pahlawan, karena semangat juang mereka dinilai luar biasa. Namun, seperti kata Taufik Hidayat usai kalah dari Leew Hyun-Ill di semifinal, ”A lost is a lost...” Kalah ya kalah...

Kita masih kalah. Kita masih berada dalam sebuah ”negeri jargon”. Seperti maraknya aneka terpaan iklan yang menampilkan sosok para politisi menebar pesonanya menjelang pemilihan umum tahun depan, dengan mencuri momen Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional.

Ialah Soetrisno Bachir, Wiranto dan Prabowo Subianto yang lagi terlanda penyakit “post celebrities syndrome” sehingga merasa perlu membuang miliaran rupiah untuk iklan propaganda pencitraan diri mereka. Menurut pengamat LIPI Hermawan Sulistyo, “post celebrities syndrome” adalah gejala dari orang yang dulu biasa terkenal dan dikerubuti wartawan lalu kini mendadak tenggelam. Lewat berbagai cara, termasuk memasang iklan nan mahal, mereka mencoba mendongrak popularitasnya kembali.

Hidup adalah beriklan… eh, perbuatan. Tiba-tiba saya teringat pada mata kuliah ilmu komunikasi paling dasar, bahwa untuk dapat sampai ke sasaran secara tepat, sebuah pesan harus dibungkus dalam kemasan yang tepat pula. Istilah yang begitu melekat pada kepala saya selaku mahasiswa baru saat itu adalah “packaging”. Paketlah pesan dalam kemasan yang menarik.

Tapi, kemudian menjadi persoalan, bagaimana bila kemasannya justru lebih menonjol daripada isi pesannya? Sehingga kemudian muncul ledekan lain di kalangan praktisi komunikasi, “Ingat, yang penting kesan, bukan pesan!” Sebuah pesan, meski sebenarnya isinya ciamik, bila dipaket secara asal-asalan tidak akan menimbulkan daya tarik bagi khalayak. Sebaliknya, sebuah paket yang menawan mampu membungkus sebuah substansi yang sebenarnya biasa-biasa saja, menjadi memikat nan menggiurkan audiensnya. Masih ingat iklan pemilu 2004, “Kapan lagi punya presiden ganteng?” Nah lo….

Hidup adalah perbuatan, eh... beriklan. Bisakah Anda membayangkan, seandainya ongkos puluhan milyar rupuah untuk perencanaan, produksi, hingga penayangan iklan tadi disumbangkan untuk mengangkat derajat kaum miskin Indonesia dari Sabang sampai Merauke tanpa banyak gembar-gembor? Berapa beasiswa dapat diberikan dengan uang sebanyak itu? Berapa subsidi untuk guru honorer dapat dibagikan dengan lembar-lembar miliaran rupiah? Berapa ton bibit dan pupuk dapat dibagikan untuk petani? Berapa kiloliter solar dapat diterima nelayan yang sulit melaut karena krisis BBM? Dan lain-lain... Tapi, ah masak iya, hari gini masih ada orang berbuat baik tanpa publikasi?

Saya pun terkenang saat beberapa tahun lalu sempat bekerja di sebuah perusahaan jasa konsultasi media dan penyelenggara even milik salah seorang presenter berita televisi ternama. Satu frase yang saya kenal dari mulut si mbak, adalah frase ’uhek-uhek’, untuk mengganti istilah ’basa-basi yang menyebalkan’. ”Ah, acara ini terlalu banyak uhek-uheknya, tidak to the point,” begitu keluhnya melihat deretan sambutan yang membungkus sebuah kegiatan. Atau kali lain, si mbak berteriak keras, ”Jojo, kalau bikin proposal langsung saja, jangan terlalu banyak uhek-uhek...”

Sayang, saat ini kita hidup di tengah sebuah bangsa yang terlalu banyak uhek-uhek dibanding bertindak. Seandainya saja, ungkapan ’sedikit bicara banyak bekerja’ benar-benar kita terapkan, maka kebangkitan Indonesia yang kita dambakan tidak akan butuh waktu terlalu lama lagi.

Bangkitlah Indonesia, mari berbuat, karena hidup adalah perbuatan tanpa pamrih, bukan uhek-uhek semata...

Sabtu, 10 Mei 2008

Nasionalisme, Profesionalisme, dan Materialisme

Nasionalisme, Profesionalisme, dan Materialisme

Pertengahan pekan lalu, setelah tim bulutangkis Piala Thomas Indonesia berlatih di Istora Senayan, saya mencegat Taufik Hidayat. Setelah mengeringkan peluhnya, tunggal kedua Indonesia itu asyik bercengkerama dengan Natarina Alika Hidayat, puteri hasil pernikahannya dengan Armidianti alias Ami Gumelar, anak mantan Ketua Umum KONI Agum Gumelar.

Saya menanyakan kepadanya tentang arti Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional bagi seorang atlet yang telah berkali-kali mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia. Tak terduga, inilah jawabannya yang terekam di kotak suara saya, “ Saya berharap, momen penting ini dapat menjadikan perubahan di bangsa ini, terutama untuk nasib para atlet yang selama ini telah bekerja keras untuk mengharumkan nama bangsa. Menurut saya, nasionalisme buat seorang atlet jangan diragukan lagi, karena setiap kali bertanding kami membawa nama bangsa. Tapi apa yang diberikan pemerintah dan negara buat atlet selama ini? Nggak ada kan?” Ia kemudian bergegas masuk ke sedan putih bernomor polisi seperti nama isterinya, B 4 MI.

Tak lama, rekan saya seorang jurnalis berjalan mendekat. “Itulah, Jo. Hati-hati kalau ngobrol dengan Taufik. Bisa kena kick balik kamu,” katanya.

Taufik tidak salah. Ia hanya mencurahkan isi hatinya. Dengan caranya. Baru-baru ini, ucapannya juga dimuat di sebuah koran nasional, menuntut pemerintah memberi insentif lebih bagi mereka yang berprestasi di Olimpiade Beijing, Agustus mendatang. “Bonus Rp 1 miliar bagi peraih medali emas itu terlalu kecil. Duit segitu sekarang tidak artinya,” ungkapnya.

Uuuupsss… satu miliar tidak ada artinya? Seribu juta rupiah?

Tapi, mari kita melihatnya secara obyektif. Taufik Hidayat tentu tidak ingin nasibnya seperti Gurnam Singh, seorang pensiunan pelari maraton peraih tiga emas Asian Games 1962 yang menghabiskan usia senja di Medan dengan menjual piala dan medali yang diperoleh saat masa jayanya. Pernah ia menjadi berita di Sinar Harapan karena berada di Jakarta tanpa punya uang cukup. tersendiri.

”Sebagai mantan atlet nasional, saya ingin bertemu dengan Ibu Presiden Megawati,” ujar Gurnam kala itu. Gurnam juga menyebutkan bahwa obsesinya bertemu Mega memang telah ada sejak beberapa tahun lalu. Selagi ada undangan gratis ke Jakarta, Gurnam pun tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Namun apa mau dikata, dengan penampilan yang tak lebih dari seorang ”gelandangan”, Gurnam pun harus menyimpan mimpinya itu. ”Pernah beberapa waktu lalu saya melihat Pak Taufik Kiemas (Suami Megawati/red) jogging di Stadion Madya, namun oleh pengawalnya saya dilarang mendekat,” keluh Gurnam. Padahal, dalam benaknya ia hanya ingin berkeluh kesah dengan Megawati yang tak lain anak Presiden RI pertama Soekarno yang begitu memanjakan atlet nasional di era 60-an.

Gurnam Singh akhirnya meninggal dunia di Blok M, Jakarta, saat berkelahi minta uang yang akan digunakannya untuk mabuk-mabukan.

Taufik tentu tidak juga ingin menjadi seperti seorang mantan juara tinju nasional Bisenti Santoso yang hidupnya terlunta-lunta di Malang. Atau seperti Elyas Pical, juara dunia pertama Indonesia yang sempat dibui karena kedapatan mengedarkan narkoba di sela-sela tugasnya menjaga klab malam. Kini, Eli memang “ditampung” bekerja di Kantor Menpora, tapi tentu itu bukan sebuah pekerjaan layak untuk seorang yang pernah membawa nama Indonesia begitu dihormati di ring tinju.

Taufik, dan juga para atlet bulutangkis lain, telah mengorbankan waktu, tenaga, dan impian sebagai “anak muda normal” dengan berpeluh di lapangan. Tak banyak waktu pacaran dan, apalagi, kuliah. Jadi, tak pantaskah ia menginginkan masa tuanya terjamin? Bagi Taufik, alih-alih bonus Rp 1 miliar, ia memilih mendapat tunjangan yang diberikan setiap bulan hingga akhir hayatnya.

Konsep dana abadi ini, sejauh ini baru diterapkan PSSI, yang secara rutin mengirim uang Rp 75 ribu kepada peraih medali emas Sea Games 1987 dan 1991. Jumlah uang itu kini memang tidak ada artinya bagi Ferryl Raymond Hattu dan kawan-kawan. Tapi, itulah sebuah perhatian, selain bentuk-bentuk lain yang lebih “sustainable”, memberi pekerjaan, misalnya.

Di lapangan bulutangkis yang sama, saya juga menjumpai Rexy Mainaki, mantan pebulutangkis ganda putera Merah Putih yang kini melatih tim Malaysia. Sebelumnya, peraih medali emas Olimpiade 1996 berpasangan dengan Ricky Subagja ini tercatat sebagai pelatih tim Inggris. Soal fasilitas di kedua negara itu, jangan ditanya. Angkanya sudah hampir menembus Rp 100 juta tiap bulan. Belum termasuk fasilitas lain seperti mobil, apartemen, dan pendidikan anak. “Bagi saya main di mana saja sama. Tapi saya harus bersikap profesional, fokus mendukung kerja tim kita. Masak kalau pukulan pemain Malaysia masuk saya diam, sementara kalau Indonesia dapat angka saya malah kasih tepuk?” kata nyong Ambon yang pertama kali memperkuat Indonesia di Piala Thomas saat Malaysia menjadi tuan rumah 1992 ini.

Di lapangan Istora itu pula ada sepasang suami isteri peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992, Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Pasangan yang menikah sebelas tahun lalu ini hadir dengan kapasitas masing-masing. Alan sebagai Wakil Ketua Panitia turnamen Thomas dan Uber Cup, sementara Susi menjabat Manajer Tim Uber Cup Indonesia. Mereka berdua juga dikenal karena bisnis alat-alat olahraga, khususnya raket badminton, bernama Astec, singkatan dari “Alan Susi Technology”.

Olahraga memang tidak semata karena hobi. Keringat, dan terkadang darah, menuntut penghargaan yang layak dari pihak-pihak yang dibela. Tengoklah kisah para pemain Levante, klub gurem di La Liga Spanyol, pekan lalu. Sebelas pemain Levante tidak bergerak saat peluit kick-off dibunyikan wasit dalam partai melawan Deportivo La Coruna. Sebelas pemain Levante ngambek di tengah lapangan sambil bergandeng tangan karena gaji mereka belum dibayar klub terlilit hutang yang pasti terdegradasi musim depan itu. Aksi para pemain Levante ini mendapat tepuk-tangan dari para pendukungnya yang juga tengah prihatin. Sementara itu, tindakan sportif dilakukan pemain Deportivo saat gelandang Sergio Gonzalez membawa bola melewati pemain Levante yang hanya diam dan menembakkan bola keluar garis gawang.

Profesionalisme dan jaminan hidup tak bisa dipisahkan dari urusan nasionalisme dan sportivitas olahraga. Di mana hati senang, pikiran tenang, di situlah kemenagan akan datang.

Selamat berjuang para atlet, maju terus Tim Thomas Cup Indonesia.

Kamis, 01 Mei 2008

Third Time Lucky

Genap sudah dua tim yang bakal berlaga di Final Liga Champions di Stadion Luzhniki Moskow, 21 Mei mendatang. All England Final terjadi dengan bertemunya Manchester United melawan Chelsea, dua tim yang juga sedang berpacu sengit di lintasan perebutan juara Liga Premier Inggris, yang berakhir 11 Mei mendatang.

MU sukses melaju ke partai puncak, yang terakhir mereka alami sembilan tahun lalu, setelah mengalahkan Barcelona 1-0 dalam dua pertandingan. Tendangan geledek Paul Scholes di Old Trafford memupus kesan negatif permainan bertahan tim ‘Setan Merah’ dalam laga semifinal perdana di Nou Camp, sepekan sebelumnya.

Adapun duel yang dilakoni Chelsea jauh lebih dramatis. Setelah meraup gol away dalam partai 1-1 di Anfield, dini hari tadi, tim biru dari London ini menyudahi perjalanan Liverpool lewat keunggulan 3-2 via perpanjangan waktu di Stamford Bridge. Sebuah kemenangan yang memperpanjang rekor sembilan kali tak terkalahkan atas Liverpool di kandang Chelsea, dalam empat tahun di berbagai even kompetisi.

Ini juga menyembuhkan sakit Chelsea yang dua kali dibekuk Liverpool di Semifinal Liga Champions 2005 di Anfield, lewat gol ajaib Luis Garcia, dan 2007, melalui adu penalti nan menyesakkan. “Third time lucky”, ungkapan itu membahana di berbagai media Inggris saat undian mengharuskan Chelsea kembali berjibaku dalam semifinal Liga Champions tahun ini, untuk ketiga kalinya dalam empat musim turnamen paling bergengsi antar klub Eropa itu.

Awalnya, saya tak percaya pada “third time lucky” itu. Apalagi saat di paruh babak kedua, Fernando ‘Si Bocah’ Torres sukses mengakhiri pacekilik gol The Reds, yang sejak 2004 mandul di Stamford Bridge. Kemenangan dan gol terakhir Liverpool di kandang Chelsea dicetak lewat sepekan Bruno Cheyrou, kala The Pool masih ditangani Gerrard Houllier.

“Final Liga Champions ini akan jadi milik Chelsea.” Hampir dua bulan lalu, ungkapan itu datang dari seorang penggemar Liverpool saat kami nonton bareng partai Liga Inggris di Red’s Corner, markas Big Reds, alias kelompok resmi supporter Liverpool di Indonesia. Saat itu, babak perempatfinal Liga Champions pun belum kelar, namun keyakinan sudah tersembul di benak kawan ini. Alasannya sederhana, final ini berlangsung di Moskow, kampung Roman Abramovic, pemilik Chelsea yang menjadi orang kaya di London karena bisnis minyak, namun justru dikejar-kejar tunggakan pajak di negerinya itu.

“Ah, masak sih Liga Champions UEFA bisa diatur seperti itu?” bantahku.

“Lho, jangan salah, Jo. Mafia sepakbola Eropa jauh lebih canggih dari PSSI. Kita ini belum ada apa-apanya,” katanya lagi.

Benar atau tidak, heaven knows. Faktanya, pelatih Liverpool Rafael Benitez merasa kecewa atas panjangnya waktu tambahan dari pengadil Konrad Plautz asal Austria saat laga semifinal pertama, yang membuat John Arne Riise kemudian ‘menyumbang’ sebuah gol bunuh diri sebagai poin plus Chelsea. Fakta lain, di leg kedua, pelanggaran Sammy Hyypia pada Mikhael Ballack dihukum wasit Roberto Rosetti dari Italia dengan eksekusi penalti Lampard, sementara saat poros halang asal Finlandia itu jatuh di kotak terlarang, Liverpool tidak mendapat kompensasi serupa.

Jadi, mana yang benar, “third time lucky”, “mafia sepakbola Eropa”, atau memang Chelsea dan MU adalah dua tim terbaik Eropa tahun ini, sekaligus membalas kesedihan Inggris yang tim nasionalnya gagal berpartisipasi di Piala Eropa di Swiss dan Austria Juni-Juli mendatang?

Ah, ngomong-omong soal kerja keras dan hinggapnya keberuntungan, sebuah pesan masuk ke kotak surat seluler saya, “Pepatah Arab mengatakan Man Jada Wa Jadda, siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan beruntung…”

Selamat menikmati putaran akhir Liga Champions tahun ini, tiga pekan mendatang dan… You’ll Never Walk Alone…