Selasa, 29 Juli 2008

Catatan Awal Indonesia Superruwet League...

Apa komentar Anda tentang perjalanan tiga pekan pertama Superliga? Kasta tertinggi persepakbolaan kita yang label formalnya adalah Indonesia Super League alias ISL...

Sebelumnya, mari coba kita tengok ke belakang, bung. Bagaimana dunia sepakbola Indonesia bermetamorfosa memasuki babak barunya, sesungguhnya bukan merupakan hal baru.

1979, di era Ketua Umum PSSI dijabat Ali Sadikin, bergulirlah sebuah era baru bernama Liga Sepakbola Utama alias Galatama. Bermaksud menyingkirkan dominasi bond perserikatan yang dibiayai APBD macam PSMS, Persija, PSM dan Persebaya, maka lahirlah kekuatan baru klub-klub "semiprofesional" macam Yanita Utama, Niac Mitra, Pardetex Medan, Warna Agung, UMS 80, dan lain-lain...

Begitu dahsyatnya Galatama bergema, sampai-sampai federasi sepakbola Jepang pun berguru ke Indonesia, sebelum mereka meluncurkan J League pada 1990-an, yang sampai kini menjadi salah satu liga termahal di dunia.

Tapi, bagaimana nasib Galatama, sebagai tempat berguru J League itu?

Pada 1980-an, dunia sepakbola kita berkabung. Penyebabnya, empat huruf: S - U - A - P... Tidak di klub, tidak di tim nasional. Klub-klub beken bangsa Warna Agung dan Niac Mitra pun terjangkit penyakit ini. Skorsing demi skorsing dijatuhkan, tapi sebuah skandal tetaplah sebuah skandal yang mencoreng aib bangsa.

Tapi, PSSI bukan tak mau maju. Pada 1995, mereka meluncurkan Liga Indonesia pertama. Saya ingat betul, tabloid olahraga Bola memberi judul cover "Liga Terbesar di Dunia" pada edisi bertepatan dengan laga perdana Liga Indonesia. Awalnya disponsori Dunhill, Kansas, Djarum, sampai Bank Mandiri.

Liga Indonesia dinilai sebagai terobosan karena menggabungkan tim perserikatan dan galatama, serta menghadirkan lima pemain asing dalam sebuah klub (awalnya cuma tiga). Padahal, di era Galatama, Suharto sempat menyetop izin penggunaan pemain asing, yang dinilainya merebut lapangan pekerjaan pemain lokal. Namun, toh, gengsi nasional tetap berkuasa. Di partai final Ligina awal, Persib Bandung tampil sebagai juara lewat gol tunggal Sutiyono melawan Petrokimia Putra Gresik.

Sebagai eks perserikatan, Persib memiliki fanatisme kuat di dada pendukungnya. Mereka tampil tanpa pemain asing, membinasakan Jacksen Tiago, Carlos de Mello dan Daryl Sinnerine dari Petro, meski dalam laga itu gol bersih Jacksen sempat dianulir serta diwarnai satu kartu merah buat tim asal Jatim ini.

Ligina terus berjalan, dengan berbagai compang-camping, mulai dengan perubahan format -dari kompetisi penuh, pembagian dua dan tiga wilayah- sampai peniadaan degradasi secara tiba-tiba. Pernah pula final Ligina V dipindah hingga ke Manado gara-gara supporter PSIS meninggal jelang laga final lawan Persebaya di Senayan.

Kini, atas instruksi FIFA, PSSI mengganti Ligina dengan ISL, dengan berbagai persyaratan kian berat bagi pesertanya, termasuk adanya stadion berstandar internasional, bentuk usaha profesional klub, hingga jenjang pembinaan yunior klub.

Tapi, benarkah itu Liga Super? Saat laga Persija lawan Persita dibatalkan karena Polda Metro Jaya tak memberi izin pertandingan dihelat di Stadion Gelora Bung Karno. Saat pendukung Persib tetap saja tak bisa menerima kekalahan timnya di Stadion Siliwangi dan merusak stadion? Saat nada rasisme masih terdengar di Stadion Brawijaya Kediri ketika Persik membantai PSIS...

Di negara tetangga, ketika negeri kita tengah menggelar Liga Super nan ruwet, Kuala Lumpur menjadi tempat tur Chelsea menjelang mengawali Liga Inggris musim ini. Maskapai Internasional Malaysia Airlines pun menjadi sponsor dan maskapai resmi Chelsea menjalani pra musim ini.

Sementara Indonesia, hanya kedatangan Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund yang hanya hura-hura dan datang sebagai hadiah RCTI menayangkan Bundesliga. Ada juga sih, kunjungan anak-anak muda Selandia Baru yang sepakbola tidak menjadi favorit di negara kiwi itu.

Liga Super nan Ruwet terus akan bergulir. Apakah benar menjadi persiapan kita menuju era sepakbola profesional, atau jangan-jangan tetap sebagai sebuah entitas bisnis, yang dikendalikan dari balik rutan Salemba?

Selamat terus menikmati liga nan ruwet ini..

Selasa, 08 Juli 2008

PON, Masih Perlukah?

Mulai 5 hingga 17 Juli, Pekan Olahraga Nasional (PON) ketujuhbelas berlangsung di enam lokasi di Kalimantan Timur, daerah yang diyakini sebagai provinsi terluas di Indonesia setelah Papua membelah diri.

PON kali ini juga dipercaya sebagai PON terbesar sepanjang sejarah sejak pesta olahraga pertama digelar di Solo pada 1948. Meski lokasi penyelenggaraan masih compang-camping hingga acara dibuka, namun kehadiran lebih dari tiga belas ribu atlet, ofisial, dan wasit memperebutkan 749 medali emas, 749 perak, dan 954 perunggu merupakan rekor baru dalam penyelenggaraan PON enam dasawarsa terakhir.

Biaya 3,9 triliun rupiah, yang bahkan bisa membengkak hingga lima triiliun, juga bukan perkara kecil. Bayangkanlah bila biaya itu disumbangkan kepada panitia pembangunan jembatan Surabaya-Madura, selesai sudah masalah kekurangan dana yang selama ini membelit.

Pertanyaannya sekarang, masihkah kita (benar-benar) membutuhkan PON? Ketika rekor baru jumlah cabang olahraga yakni 43 cabang tercetus, apakah itu benar-benar sebuah prestasi membanggakan? Padahal, banyak di antara cabang-cabang olahraga itu sama sekali tak ada hubungannya dengan jenjang olahraga internasional, bahkan sekelas Sea Games sekalipun. Bisakah anda bayangkan ajang Olimpiade mempertandingkan drum band, dansa, dan sepatu roda? Ah, masih untung tidak ada nomer dakon dan egrang di PON kali ini...

Pertanyaan lain, apakah masih membanggakan sebuah pesta olahraga domestik bila peserta menghalalkan segala cara untuk menjadi yang terbaik? Bajak-membajak atlet dengan saling menawarkan fulus terbesar? Atau bahkan, yang unik, mempergunakan mistis demi meraih emas. Masih ingat saat PON XV/2000 lalu digelar di Jatim, ada-ada saja kejadian unik terjadi. Mulai peselam yang kabur pandangannya di kedalaman Pantai Pasir Putih, Situbondo, para pemanah yang tembakannya pada meleset di Lapangan KONI Kertajaya, bahkan ada pula kain hitam di gawang yang membuat tendangan kesebelasan lawan selalu gagal menjadi gol karena sering membentur tiang. Anehnya, semua peristiwa itu menguntungkan tuan rumah, yang kemudian untuk pertama kalinya sukses menjadi juara umum.

Pada era 1980-an, setidaknya sampai PON 1996 di Jakarta, cabang sepakbola masih menjadi primadona karena di sanalah para pemain terbaik klub profesional tampil atas nama provinsi. Ingat ketika Mustaqim dkk kalah dari Abdurrahman Gurning dan kawan-kawan dalam laga Jatim lawan Sumut? Tapi kini, sepakbola PON adalah ajang pembibitan, jadi yang main adalah anak-anak muda 23 tahun ke bawah, yang mungkin baru mencicipi Liga Super beberapa tahun ke depan. Baik misalnya, bila sarana ini mampu mencetak Boas Salossa dan Budi Sudarsono baru, tapi kemudian menjadi pertanyaan, benarkah semua anak muda itu akan tertampung ke jenjang lebih profesional?

Di PON kali ini pun, greget menjadi berkurang karena atlet-atlet yang akan turun ke Olimpiade dilarang keras turun lapangan. Kalau sampai ketahuan, KONI akan memberi mereka hukuman besar, terutama bagi atlet cabang atletik dan bulutangkis.

PON terus berjalan hingga dua pekan ke depan. PR besarnya bukan hanya sukses pada penyelenggaraan, tapi juga audit pasca acara. Jangan-jangan, timbul pengadilan massal kepada para pimpronya, seperti terjadi di Jatim, delapan tahun silam.

Ayo dukung Jawa Timur... ah, yang benar, hari gini ngomongin asal daerah?