Selasa, 10 Februari 2009

Mimpi 2022: Ini Bukan Dagelan

Saya seperti tidak berada di Indonesia saat kemarin tersesat di Hotel Ritz- Charlton, Pacific Place, Jakarta. Piranti lift, interior ruangan, sampai suasana toilet benar-benar mengesankan suasana high-class five stars hotel.

Apalagi di dalam Ballroom 3, sedang berlangsung sebuah acara meriah. Deklarasi Pencalonan Indonesia sebagai Tuan Rumah Piala Dunia 2022 dengan mengusung label “Green World Cup”, yakni perpaduan antara penyelenggaraan pesta sepakbola dunia dengan pelestarian lingkungan hidup.

Para pembicaranya tampil berapi-api. Kata sang pucuk pimpinan PSSI, ambisi maju sebagai penyelenggara Piala Dunia 2022 sejalan dengan tekad Indonesia 2020, yakni pada 2020 tim nasional Indonesia harus tampil di Pentas Dunia. “Iukan ide liar, Bukan sebuah dagelan, juga bukan sebuah mimpi di siang bolong. Bangsa yang besar harus berani melahirkan ide-ide yang besar dan juga karya-karya besar. Kita adalah bangsa yang besar, bangsa bola,” teriak Nurdin Halid, di tengah microphone yang beberapa kali ngadat.

Pesohor berikutnya, Menteri Olahraga mengamini mimpi itu. “Orang yang paling miskin di dunia ini adalah orang yang tidak sanggup lagi bermimpi. Mexico dan Brazil yang kondisi ekonominya tidak jauh dari kita sudah dua kali menjadi penyelenggara Piala Dunia. Indonesia pasti bisa lebih baik,” sumbar Adhyaksa Dault.

Tiga belas stadion bersiap menjadi venues siapa tahu angan-angan itu menjadi kenyataan. Tiga stadion existing: Senayan, Jakabaring Palembang dan Palaran Samarinda; empat stadion dalam perencanaan: Gedebage Bandung, BMW Jakarta Utara, Bogor, dan Riau; serta enam stadion dalam usulan antara lain di Surabaya, Makassar, Tangerang, Yogyakarta, Medan, dan Gianyar. Yang unik tentu stadion baru di Kota Pahlawan kelak. Kalau ibukota punya Gelora Bung Karno, konon di Surabaya telah disiapkan sebuah nama: Gelora Bung Tomo.

Pengamat komunikasi Effendi Ghazali buru-buru mengingatkan, kampanye pencalonan Indonesia menuju Piala Dunia 2022 bukanlah sebuah perjuangan yang amat panjang. “Ini adalah sebuah perang komunikasi yang teramat pendek. Dimulai dari deklarasi pencalonan 9 Februari ini sampai pengumuman oleh FIFA pada 10 Desember 2010,” tegas pemilik tayangan Republik Mimpi itu.

Namun, segala mimpi itu mendadak sirna saat mikrophone hotel kembali mati. Saya seperti terbangun dan sesaat kemudian, tatkala menyeberangi jembatan busway Polda Metro, tiba-tiba kembali merasa berada di Indonesia. Seorang ibu menggendong bayi yang menikmati nyenyaknya sambil terus menghisap botol susu, berselonjor di persimpangan halte.

Ah, mungkin saja bayi itu tengah bermimpi topik yang sama: suatu hari saat ia beranjak remaja, tiga belas tahun ke depan… tahun 2022…