Selasa, 19 Januari 2010

Stop Rasisme di Liga Indonesia

Jojo Raharjo

Satu poin menarik saya dapat dari jumpa pers bulanan PT Liga Indonesia yang digelar di sekretariat Liga Indonesia di Rasuna Office Centre, Kuningan, Selasa (19/1). Sebagaimana disampaikan CEO Liga Indonesia Joko Driyono, Badan Liga Indonesia memutuskan, mulai putaran kedua Superliga Februari mendatang, wasit dapat menghentikan pertandingan bila merasa ada kata-kata atau tindakan rasisme secara massal dalam partai yang dipimpinnya. “Kita tidak ingin membangun sepakbola dalam spirit rasis,” tegas Joko.

Dalam sesi tanya-jawab, saya mengacungkan tangan, menanyakan, apakah bisa di-breakdown definisi rasisme yang dapat membuat perangkat pertandingan serta-merta memutuskan sebuah laga tidak dilanjutkan? ”Apakah ejekan kepada pemain berkulit hitam saja, atau juga termasuk nyanyian cemooh bagi kelompok supporter lain?” tanya saya memohon penjelasan. Joko tidak menjawab detail. Ia memaparkan, ”Prinsip SARA dalam Pedoman Fair Play dan Kode Disiplin adalah upaya yang sifanya menghasut kebencian kepada orang lain. Baik sifatnya tindakan, ucapan, atau apapun,” katanya.

Joko berkilah, secara spesifik aturan untuk menghentikan pertandingan ada di laws of the game. Katanya, instruksi ini bukan untuk pengawas pertandingan atau panpel, tapi hanya wasit pihak satu-satunya yang bisa menghentikan pertandingan. ”Begitu ada teriakan atau lagu-lagu bernada rasis, wasit harus menghentikan pertandingan,” urai Joko.

Joko berterus-terang, pihaknya mengaku gagal dalam mendefinisikan prinsip-prinsip SARA yang dinilai universal dalam kaidah tutur-kata Indonesia. ”Kami ingin belajar dari orang Surabaya bahwa jancuk itu adalah hal yang lumrah, sebagaimana kata anjing bagi orang Medan. Tapi kami sepakat, bahwa kata Dibunuh Saja bukan hal lumrah dan merupakan perkataan rasis,” kata pria asal Ngawi itu.

Isu rasisme mencuat dalam sepakbola Indonesia terutama berupa ejekan terhadap pemain berkulit hitam dan olok-olok terhadap pendukung klub lain. Awalnya adalah Aremania, yang memang dikenal kreatif dan lagu-lagunya banyak dijiplak supporter lain, memperkenalkan syair untuk menjatuhkan mental tim lawan. Misalkan Arema bertanding melawan Persiba, maka para pendukung itu lantang bernyanyi dengan ending, ”Arema.. Arema.. Singo Edan.. Singo Edan aremania.. sekarang arema menang.. persiba ... dibunuh saja.

Pada putaran pertama Superliga lalu, Arema bahkan mendapat hukuman sekali pertandingan tanpa penonton dan denda Rp 50 juta akibat ulah segelintir oknumnya yang mengejek pemain Persipura sebagai ”monyet jelek”. Akibat teriakan itu, pemain Persipura marah-marah dan merusak kamar ganti Stadion Kanjuruhan, markas tim ”Singo Edan” itu. Di kalangan Aremania, hukuman dari PSSI dinilai tidak adil karena tidak ada bukti yang menyatakan ada teriakan rasis, setidaknya bukti ejekan itu dilakukan secara masif.

Aremania sendiri menganggap, ulah pemain Persipura merusak perabotan di dressing room (belakangan Persipura juga didenda Rp 10 juta atas aksi vandalisme ini) hanya mencari kambing hitam atas kekalahan 1-2 yang mereka derita. Perilaku tidak terpuji bukan hanya dilakukan Aremania. Lagu-lagu ”Dibunuh Saja” diplagiat hampir semua kelompok supporter Indonesia. Adapun lagu ”Bonek Jancuk Dibunuh Saja” kemudian diubah oleh supporter Persebaya menjadi ”Arema Jancuk.. dan lain-lain”.

Sementara itu, seperti diputar di film Romeo dan Juliet karya Andi Bachtiar Jusuf, kebersamaan supporter daerah melawan klub ibukota terdengar jelas dalam lirik lagu, ”Viking dan Bonek sama saja.. asal jangan The Jak.. The Jak itu Anjing..” Kubu Jakmania tak mau kalah. Mereka kerap mengumandangkan lagu ”Aku punya anjing kecil...kuberi nama Viking..” sebagai pelecehan atas pendukung Persib, musuh turun-temurun Persija.

Lima tahun silam, saya yang berada di sisi lapangan Stadion Surajaya Lamongan mendengar teriakan dari pendukung Persela menirukan suara gonggongan anjing. Tak sulit menebak, ledekan itu dialamatkan ke pelatih Persebaya, Jacksen Ferreira Tiago, yang berkulit gelap dan mengenakan kalung emas di lehernya. Tak ada sanksi dari PSSI saat itu. Jacksen sendiri, seusai pertandingan mengelak menjadi korban rasisme, ”Saya tidak memperhatikan mereka, saya konsentrasi ke pertandingan,” kilahnya.

Kini, Badan Liga Indonesia sudah menegaskan aturan resmi, bahwa wasit bisa menghentikan pertandingan atas alasan rasisme secara masif. Akankah langkah tegas ini dapat berwujud nyata? Atau hanya menjadi macan kertas belaka? Akankah peringatan dari Badan Liga ini kemudian membuat supporter sepakbola Indonesia menjadi dewasa dalam menyikapi perbedaan dan menghindarkan diri dari cemoohan tak bermutu?

Rabu, 06 Januari 2010

PSSI, Lihat Mimpi Mereka…

Jojo Raharjo

Matahari hampir tenggelam di barat Jakarta. Di tengah lalu-lalang manusia di kawasan Pasar Tanah Abang, seorang ayah mempercepat langkahnya. Kostum tim nasional Indonesia berwarna hijau, lengkap dengan syal merah putih terlilit di leher. Di dadanya tergendong anak laki-laki berusia 3,5 tahun.

Mereka melangkahi beberapa pedagang kaki lima sebelum melompat ke dalam bis Koantas Bima jurusan Tanah Abang-Lebak Bulus, yang rutenya melewati Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, tempat pertandingan lanjutan kualifikasi Grup B Piala Asia, Rabu (6/1).

Erang, begitu nama bapak itu, mengaku pekerja di sebuah perkantoran kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. “Sebenarnya tadi belum waktunya pulang kerja, tapi saya nekat kabur. Sudah lama saya rencanakan nonton Indonesia main lawan Oman bareng anak saya,” kata Erang. Dari rumahnya di kawasan Harmoni, mereka naik angkot ke arah Tenabang, sebelum berpindah ke Koantas Bima bertarif Rp 2.000,- per orang itu.

“Ini kali pertama Malone saya ajak nonton bola di Senayan,” kata Erang yang memang hampir tak pernah melewatkan kesempatan menyaksikan langsung tim nasional bertanding. “Kalau cuma pertandingan liga, saya tidak suka,” tambahnya.

Iya, nama anak itu, Malone, terinspirasi dari bintang NBA. Karl Anthony Malone, forward legendaris Utah Jazz dan LA Lakers. Duduknya kadang terguncang di pangkuan ayahnya, di atas bis yang membelah Petamburan, Slipi hingga Senayan, Mungkin ia terus membayangkan, seperti apa Stadion Utama yang berdiri 48 tahun lalu itu.

Sampai mereka turun di pintu seberang Taman Ria, memburu tiket pertandingan yang belum terpegang tangan. “Kalau masih ada tiket murah, mau beli yang Rp 20 ribuan saja,” teriak Erang. Hari itu, Panpel PSSI mendistribusikan 46 ribu tiket dalam tiga nominal. Kelas VIP Rp 100 ribu, Kelas Utama dan Kelas I Rp 50 ribu, serta Kelas II Rp 20 ribu.

Pemandangan lain tergelar di pintu masuk stadion dari sisi Patung Panah, Jl. Asia Afrika. Hendro, kenek Kopaja 66 Jurusan Manggarai-Blok M memboyong dua anaknya untuk mendukung tim Garuda. Yang sulung bernama Beckham Arvian Putra, 10 tahun, bersama adiknya Ari Arvian Ferguson, 6 tahun. Keduanya dilengkapi slayer merah putih bertulis “Indonesia”. Bapak dan anak itu tinggal di gang kecil kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan.

“Ini kesempatan pertama mereka nonton tim nasional. Sebelumnya, saya pernah mengajak anak ke Senayan mendukung Persebaya saat melawan Persija,” kata perantau asal Karangpilang, Surabaya ini.

Malone, Beckham, dan Arvi, Anak-anak itu mengecap pengalaman bersejarah mendukung tim merah putih di Senayan. Tentu, pengalaman pertama akan berkesan dalam diri mereka. Namun, apa yang terjadi? Di lapangan, Charis Yulianto dan kawan-kawan seperti diajari cara bermain bola dalam setengah lapangan oleh anak anak teluk asuhan Claude Le Roy. Pertandingan bubar dengan skor 1-2 untuk Oman.

Dan, kali pertama sejak 1996, Indonesia bakal absen di Putaran Final Piala Asia di Qatar tahun depan. Ada hiburan dalam pertandingan itu saat Hery Mulyadi, seorang penonton asal Cikarang, nekat turun ke lapangan dan merebut bola untuk menjebol gawang Ali Al Habsi, kiper Oman yang berlaga di klub Liga Inggris, Bolton Wanderers.

Bulan kian memeluk Jakarta. Para penonton pulang sebagai pihak tertakluk. Malam itu, Malone, Beckham, dan Arvi pun menutup hari bersejarahnya dengan mimpi. Mimpi sebagai negara pecundang.