Minggu, 10 Juli 2011

Selamat Bekerja di PSSI, Profesor!

Kepemimpinan baru PSSI terbentuk. Segerobak harapan dan tugas menanti.


Bukan tanpa alasan pelatih Arsenal Arsene Wenger mendapat julukan “The Professor”. Pria 61 tahun itu memegang gelar sarjana elektro dan master ekonomi dari University of Strasbourg, Perancis, serta fasih berbahasa asing, antara lain Inggris,Spanyol, Italia, dan Jepang. Lebih 15 tahun mengabdi, Profesor Wenger menjadi manajer terlama yang membesut Arsenal dan mencatatkan diri sebagai orang non British pertama peraih gelar dobel bagi klubnya pada 1998 dan 2002.

Tak beda dengan Wenger yang telah mempertaruhkan kejeniusannya di lapangan hijau, kini tantangan sepakbola Indonesia juga berada di tangan seorang profesor. Ini setelah Djohar Arifin Husin, peraih doktor (Ph.D) bidang perencanaan kota & wilayah Universiti Malaya, Malaysia resmi menjadi nahkoda baru PSSI .per 9 Juli 2011 melalui kongres luar biasa di Solo.

Djohar memegang amanat besar, terutama setelah organisasi sepakbola yang paling banyak digandrungi masyarakat tanah air ini mengalami krisis kepemimpinan lebih dari 7 tahun. Djohar memikul beban berat di tengah tekad besar perubahan negeri ini, sebagaimana dikatakannya dalam wawancara dengan sebuah radio berita, bahwa ia membawa “segerobak tugas” untuk membawa PSSI ke arah lebih baik.

Tak seperti ketua-ketua umum PSSI sebelumnya, Djohar bukanlah militer. Bukan pula pengusaha tajir. Di masa mudanya, pria 51 tahun kelahiran Tanjungpura, Sumatera Utara ini tercatat sebagai pemain PSL Langkat dan PSMS Medan, kemudian menjadi wasit, pelatih bersertifikat S3, inspektur pertandingan, hingga Sekjen KONI Pusat di era kepemimpinan Agum Gumelar.

Kini, Djohar –yang pernah menjadi pelatih tim nasional timnas mahasiswa ke POM Asean di Singapura 1994 dan manajer tim nasional PSSI dalam uji coba ke Myanmar 2003- diharapkan dapat mengimplementasikan segudang pengalamannya itu. Setidaknya, ia bukan berasal dari kubu yang dianggap mewakili status quo. Apalagi Djohar bakal berduet dengan Farid Rahman, yang dikenal memiliki pengalaman manajerial andal.

Farid (53) kini menjabat Komisaris Bank Saudara, dan sebelumnya duduk sebagai direktur bank yang berada di bawah naungan Grup Medco itu sejak 1994 hingga 26 Mei 2011. Farid merupakan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan memperoleh gelar MBA dari Golden Gate University, San Francisco, Amerika Serikat.

Di bidang olahraga, Farid masih memegang posisi Sekjen Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia.Kini, tinggal menunggu, siapa yang bakal duduk di kursi sekjen mendampingi duet pemimpin baru PSSI ini.

Bersama duet Djohar-Farid, ada 9 hulubalang yang bertindak sebagai komite eksekutif, yakni pengusaha Sumut pemilik klub Produta serta Medan Chief Erwin Sitorus, Ketua Pengcab PSSI Samarinda Erwin Dwi Budiawan, Ketua Pengda PSSI Jabar Toni Aprilani, Ketua Pengda PSSI Jatim La Nyalla Matalitti, Walikota Banda Aceh Ketua Persiraja Mawardi Noerdin, Manajer Persepar Kalimantan Tengah Tuty Dau, Ketua Pemua Pancasila DKI Roberto Rouw, CEO PT Semen Padang Widodo Santoso dan mantan pemain timnas Bob Hippy.

Di tangan merekalah kekuatan baru PSSI bertumpu. Prakualifikasi Piala Dunia 2014 dan Sea Games akhir tahun ini menjadi batu loncatan pertama (saya tak mau menyebut sebagai taruhan, tapi milestone). Semoga, harapan lebih 220 juta penduduk Indonesia tak hilang diterpa angin. Selamat bekerja profesor, buktikan anda sebagai Arsene Wengernya Indonesia..

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi

Minggu, 03 Juli 2011

Kembalikan Timnas sebagai sekumpulan pemain terbaik Indonesia.


Pelatih Tim Nasional Indonesia, Alfred Riedl mengumumkan 25 pemain Timnas Pra Piala Dunia 2014 dan 25 pemain Timnas U-23 untuk gelaran Piala AFF Junior. Berita besarnya kembali menyorot ogahnya Riedl memanggil pemain ber-KTP Liga Primer Indonesia (LPI). Termasuk Irfan Bachdim.

Produk LPI tak hanya Irfan Bachdim, selebritis bola kita yang selalu jadi sasaran utama kamera, tapi juga sederet nama lain. Ada Kim Jefry (Persema), Syamsul Arif (Persibo), Sansan Fauzi, Hendra Bayauw (Jakarta FC), Rendy Kurniawan, Taufik, Andik Vermansyah (Persebaya), dan nama-nama lain.

Alasannya tegas: LPI belum diakui oleh PSSI –dan FIFA tentunya. Bahasa kerasnya lagi: LPI ilegal. "Pemain-pemain seperti Irfan Bachdim dan Kim Jeffrey akan mendapat kesempatan yang sama jika status LPI sudah jelas," kata Wolfgang Pikal, pria asal Austria yang kembali menjadi asisten Riedl.

Tentu ini sebuah vonis yang menyakitkan bagi LPI, yang saat ini tengah dalam proses duduk semeja dengan Komite Normalisasi. Bahkan, LPI sampai menunda perhelatan putaran keduanya begitu lama, dari rencana Juni menjadi September nanti. Selain menunggu bulan puasa dan Lebaran lewat, faktor utamanya tak lain karena menanti hasil Kongres PSSI dan keabsahan mereka.

Atas belum jelasnya status pemain LPI, Riedl mengaku siap mengubah keputusannya setelah Kongres 9 Juli mendatang. Dengan demikian, jika kongres menghalalkan LPI, maka para pemain produk LPI bisa dipanggil tampil dua melawan Turkmenistan, 23 dan 28 Juli nanti.

Yang lucu lagi, Deputi Bidang Teknis BTN, Iman Arif menegaskan pemanggilan untuk timnas senior dan U-23 diundur, dari jadwal semula 3 Juli, menjadi setelah kongres PSSI. “Pemanggilan ini juga menunggu hasil Kongres 9 Juli mendatang,” kata Iman.

Belajar pada Sejarah

Tim nasional Indonesia dan organisasi PSSI menang tak bisa dipisahkan. Tapi, seharusnya urusan tim nasional tak harus terkait dengan, sedikit-sedikit, menunggu hasil kongres. Namanya Timnas Indonesia adalah gabungan pemain terbaik ber-KTP Indonesia, di manapun ia bermain.

Jangan sampai kisah Piala Dunia 1938 –yang dalam beberapa kesempatan kita bangga-banggakan itu- terulang lagi. Hingga saat ini, itulah satu-satunya kesempatan Indonesia tampil di supremasi sepakbola tertinggi dunia. Padahal, tim yang berangkat ke Perancis itu merupakan tim boneka bentukan pemerintah Hindia Belanda, dan bukan tim Indonesia sebenarnya. Indonesia yang tampil dalam sejarah Piala Dunia adalah Indonesia abal-abal.

Pengiriman kesebelasan Nederlandsche East Indies pada Piala Dunia 1938 sempat menjadi masalah. Pasalnya, NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau organisasi sepak bola Belanda di Indonesia bersitegang dengan PSSI yang sudah berdiri sejak April 1930. PSSI yang saat itu masih dipimpin pendirinya, Ir. Soeratin, ingin agar pemain PSSI yang dikirimkan ke Perancis.

Namun, akhirnya yang dikirimkan adalah kesebelasan berbendera NIVU, karena PSSI belum diakui FIFA. Pemain-pemainnya pun bukan pemain PSSI, tapi mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda.
Sekali bertanding, langkah kesebelasan Hindia Belanda hanya sampai di babak penyisihan, karena dipertandingan pertama dikalahkan oleh Hungaria dengan skor 0-6. Hungaria sendiri akhirnya sampai di partai puncak, meski hanya mampu menjadi runner up karena dikalahkan Italia yang menjadi juaranya.

Timnas adalah tim terbaik berisi pemain-pemain terbaik berpaspor Indonesia. Tak peduli liganya sempat beroposisi dengan PSSI, mereka adalah produk terbaik sebuah kompetisi profesional. Maka, kembalikan pemain-pemain terbaik Indonesia dalam deretan pemain berkostum garuda yang membela panji merah-putih menuju Piala Dunia Brazil 2014.

Kalau tidak, jangan salahkan jika Turkmenistan bakal menjelma menjadi Hungaria baru bagi tim Indonesia abal-abal. Sekali main, langsung angkat koper…