Mulai 5 hingga 17 Juli, Pekan Olahraga Nasional (PON) ketujuhbelas berlangsung di enam lokasi di Kalimantan Timur, daerah yang diyakini sebagai provinsi terluas di Indonesia setelah Papua membelah diri.
PON kali ini juga dipercaya sebagai PON terbesar sepanjang sejarah sejak pesta olahraga pertama digelar di Solo pada 1948. Meski lokasi penyelenggaraan masih compang-camping hingga acara dibuka, namun kehadiran lebih dari tiga belas ribu atlet, ofisial, dan wasit memperebutkan 749 medali emas, 749 perak, dan 954 perunggu merupakan rekor baru dalam penyelenggaraan PON enam dasawarsa terakhir.
Biaya 3,9 triliun rupiah, yang bahkan bisa membengkak hingga lima triiliun, juga bukan perkara kecil. Bayangkanlah bila biaya itu disumbangkan kepada panitia pembangunan jembatan Surabaya-Madura, selesai sudah masalah kekurangan dana yang selama ini membelit.
Pertanyaannya sekarang, masihkah kita (benar-benar) membutuhkan PON? Ketika rekor baru jumlah cabang olahraga yakni 43 cabang tercetus, apakah itu benar-benar sebuah prestasi membanggakan? Padahal, banyak di antara cabang-cabang olahraga itu sama sekali tak ada hubungannya dengan jenjang olahraga internasional, bahkan sekelas Sea Games sekalipun. Bisakah anda bayangkan ajang Olimpiade mempertandingkan drum band, dansa, dan sepatu roda? Ah, masih untung tidak ada nomer dakon dan egrang di PON kali ini...
Pertanyaan lain, apakah masih membanggakan sebuah pesta olahraga domestik bila peserta menghalalkan segala cara untuk menjadi yang terbaik? Bajak-membajak atlet dengan saling menawarkan fulus terbesar? Atau bahkan, yang unik, mempergunakan mistis demi meraih emas. Masih ingat saat PON XV/2000 lalu digelar di Jatim, ada-ada saja kejadian unik terjadi. Mulai peselam yang kabur pandangannya di kedalaman Pantai Pasir Putih, Situbondo, para pemanah yang tembakannya pada meleset di Lapangan KONI Kertajaya, bahkan ada pula kain hitam di gawang yang membuat tendangan kesebelasan lawan selalu gagal menjadi gol karena sering membentur tiang. Anehnya, semua peristiwa itu menguntungkan tuan rumah, yang kemudian untuk pertama kalinya sukses menjadi juara umum.
Pada era 1980-an, setidaknya sampai PON 1996 di Jakarta, cabang sepakbola masih menjadi primadona karena di sanalah para pemain terbaik klub profesional tampil atas nama provinsi. Ingat ketika Mustaqim dkk kalah dari Abdurrahman Gurning dan kawan-kawan dalam laga Jatim lawan Sumut? Tapi kini, sepakbola PON adalah ajang pembibitan, jadi yang main adalah anak-anak muda 23 tahun ke bawah, yang mungkin baru mencicipi Liga Super beberapa tahun ke depan. Baik misalnya, bila sarana ini mampu mencetak Boas Salossa dan Budi Sudarsono baru, tapi kemudian menjadi pertanyaan, benarkah semua anak muda itu akan tertampung ke jenjang lebih profesional?
Di PON kali ini pun, greget menjadi berkurang karena atlet-atlet yang akan turun ke Olimpiade dilarang keras turun lapangan. Kalau sampai ketahuan, KONI akan memberi mereka hukuman besar, terutama bagi atlet cabang atletik dan bulutangkis.
PON terus berjalan hingga dua pekan ke depan. PR besarnya bukan hanya sukses pada penyelenggaraan, tapi juga audit pasca acara. Jangan-jangan, timbul pengadilan massal kepada para pimpronya, seperti terjadi di Jatim, delapan tahun silam.
Ayo dukung Jawa Timur... ah, yang benar, hari gini ngomongin asal daerah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar