Jojo Raharjo
Terlalu lama negara ini lapar akan kehormatan di pentas olahraga. Sebuah sarana pencapaian prestasi yang nilainya dapat menutupi citra buruk bangsa dengan indeks korupsi cukup tinggi. Ya, pentas olahraga memang dapat membuat sebuah negara secara instan dikenal dan mendapat respek di jagad ini, melebihi pengenalan dangkal lain atas identitas bangsa itu. Berulangkali Wakil Presiden Jusuf Kalla menyuntikkan semangat kepada para atlet merah putih dengan kalimat yang sama, “Hanya dua hal dapat membuat bendera dan lagu kebangsaan sebuah bangsa dikibarkan di negara lain: kunjungan kepala negara dan medali emas di pentas olahraga internasional.”
Sayang, kebanyakan dari atlet olahraga kita seperti berpuas dengan istilah “hampir menang”. Prestasi timnas sepakbola di bawah asuhan pelatih Belanda Wiel Coerver yang hampir lolos ke Olimpiade Montreal 1976 terus digembar-gemborkan. Saat itu, pada grandfinal kualifikasi zona Asia, Anjas Asmara dkk kalah adu penalti dari Korea Utara di Stadion Utama Senayan. Begitu pula nyaris lolosnya Bambang Pamungkas dkk dari penyisihan grup Piala Asia tahun lalu, seolah menjadi salah satu bukti prestasi era kepengurusan Nurdin Halid. Padahal, saat itu toh Indonesia hanya sekali menang lawan Bahrain dan sisanya dua kali ditekuk Arab Saudi dan Korea Selatan.
Saya masih duduk di bangku akhir Sekolah Dasar saat Jawa Pos menggambarkan euforia Indonesia meraih medali pertama di Olimpiade Seoul 1988. Kala itu, trio pemanah putri asal Surabaya, Makassar, dan Jakarta –Lilis Handayani, Nurfitriyana Saiman, dan Kusuma Wardhani- sukses membawa pulang medali perak dari cabang panahan ronde FITA beregu.
Empat tahun kemudian di Barcelona lebih fenomenal lagi. Sejarah emas terukir saat bulutangkis kali pertama dipertandingkan di Olimpik dan sepasang kekasih Susy Susanti – Alan Budikusuma menjadi yang terbaik di nomer tunggal puteri dan putera. Selain itu, masih ada dua perak yang dipersembahkan ganda Eddy Hartono/Rudy Gunawan, Ardy Wiranata serta satu perunggu perolehan Hermawan Susanto.
Indonesia Raya kembali berkibar di Olimpiade Atlanta, AS, 1996 dengan keberhasilan duet ganda putera Ricky Subagja/Rexy Mainaky, sementara Mia Audina mendapat perak serta ganda Denny Kantono/Antonius Irianto dan Susy Susanti mengantungi perunggu.
Berlanjut di Olimpiade Sydney 2000, ganda Tony Gunawan/Candra Wijaya meneruskan tradisi emas disertai dua perak lain dari bulutangkis atas kerja keras ganda campuran Tri Kusharjanto/Minarti Timur dan tunggal putra Hendrawan. Sealin itu, lifter Lisa Rumbewas menyabet perak serta dua atlet angkat besi lain, Sri Indriyani dan Winarno menyumbang medali perunu.
Empat tahun lalu di Yunani, bujangan Taufik Hidayat menyelamatkan tradisi emas itu diikuti dua perunggu badminton lain dibawa pulang pasangan Eng Hian/Flandy Limpele dan tunggal putra asal Wonocolo Sony Dwi Kuncoro. Di cabang angkat besi, Lisa Rumbewas kembali membawa oleh-oleh sekeping perak.
Bagaimana dengan 2008? Saat olimpiade kembali digelar di Asia, sama seperti saat 1998 Indonesia pertama kali meraih medali olimpik, masihkah tradisi emas itu terjaga? Terutama dari cabang bulutangkis, yang tiga bulan sebelumnya tercoreng malu karena gagal menjadi yang terbaik di ajang beregu Thomas dan Uber Cup di Jakarta.
Optimisme itu seharusnya masih ada. Baik dari Sonny Dwi Kuncoro, ganda campuran Nova Widianto/Lilyana Natsir, atau juga lifter Eko Yuli Irawan dan Sandow Wildemar Nasution.
Vini Vidi Vici. Mestinya kita masih optimis untuk dapat menyaksikan penutupan Olimpik di Stadion Sarang Burung pada 24 Agustus dengan kalungan medali emas di dada para atlet kita. Karena, kalau harapan itu gagal lagi, maka dunia tetap akan mengenal sebuah kepulauan terbesar di Asia Tenggara dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sebagai negara tukang mark-up, pengekspor asap, dan pembalak liar.
Jo,..tulisanmu bagus!
BalasHapus