Minggu, 07 September 2008

Memaksakan Liga Ramadhan

Jojo Raharjo

Kali pertama sejak era Galatama dan Perserikatan digabung dalam Liga Indonesia 1994, tahun ini Badan Liga Indonesia PSSI berniat menggelar terus kompetisi Superliga di tengah berjalannya bulan Ramadhan 1429 Hijiriyah.

Unik memang. Alasannya, kompetisi ini sudah memiliki banyak jedah. Setelah perhelatan Piala Kemerdekaan bulan lalu, pada akhir tahun konsentrasi tim nasional tertuju kepada Piala AFF di Jakarta. Konsekuensinya, pertandingan tetap berlangsung di bulan puasa, dengan kick-off digelar lebih malam, yakni beberapa saat setelah Buka Puasa dan Shalat Tarawih. Untuk partai yang disiarkan langsung televisi, pertandingan dimulai jam 21.00 WIB, sementara pertandingan yang tidak ditayangkan televisi, boleh digelar lebih awal.

Unik memang. Alasan lain pertandingan malam hari juga agar para pemain yang beragama Islam tidak terganggu puasanya. Padahal, saya membaca kepala berita sebuah surat kabar Bandung malah menyatakan, “Dokter Tim Sarankan Pemain Persib Tidak Puasa.” Dokter itu menegaskan, sejak sehari sebelum tim ”Pangeran Biuru” turun berlaga, maka para pemain sebaiknya tidak memaksakan diri berpuasa. “Sepakbola olahraga berat,” itu alasannya.

Unik memang. Partai malam ternyata tidak hanya merepotkan para pemain dan dokter tim sebuah klub sepakbola. Panitia pelaksana pertandingan dan supporter fanatik pun harus menyiapkan diri secara ekstra. Di Malang, partai malam antara Arema dan Deltras Sidoarjo diimbangi dengan keamanan ketat antara Stadion Kanjuruhan Kepanjen menuju kampung-kampung kediaman para Aremania, baik ke arah Gondanglegi, maupun ke arah Kota Malang.

Unik memang. Sepakbola Indonesia seperti menjadi sepakbola yang dipaksakan. Ingatkah Anda saat dua minggu lalu tim nasional menjadi juara Piala Kemerdekaan dengan mengalahkan Libya di final di Senayan. Mengalahkan Libya? Berapa skornya? Skornya 1-0 untuk Libya, tapi Indonesia yang menjadi juara karena tim tamu tak mau melanjutkan pertandingan babak kedua dengan alasan keamanan. Insiden ini terjadi setelah pelatih kiper PSSI Sudarno diduga memukul pelatih Libya Gammal hingga kacamatanya pecah. Itulah cara negara kita memaksakan target juara.

Unik memang. Kalau mau menggelar kompetisi di bulan Ramadhan, ya sebaiknya tetap saja digelar sore hari. Perkara puasa atau tidak puasa, itu urusa pribadi masing-masing. Toh siapa yang bisa menjamin kalau pertandingan dimulai ba’da Isya’ maka para pemain, pelatih, panitia, dan supporter pasti menunaikan ibadah puasa?

Unik memang. Karena kalau tak mau repot dengan berbagai kontraversi, ya mending bebaskan bulan Ramadhan dari hiruk-pikuk sepakbola. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada pentas sepakbola di bulan suci, sebagaimana yang tahun ini berlaku di kompetisi Divisi Utama dengan melibatkan Persebaya sebagai pesertanya.

Unik memang. Kalau kita terus menerus berada di negeri yang semuanya selalu dipaksakan.

1 komentar:

  1. Jo, sori baru baca posting soal Liga Ramadhan ini. Aku tergelitik satu hal, ada nggak intervensi modal - dalam hal ini sebuah korporasi media tv - dalam paksaan jadwal liga ini. Sepakbola, bagaimanapun juga masih jadi jaring mutakhir untuk merebut kue rating penonton. Jadwal dipaksakan demi sebuah rating. Prestasi olahraga, sportifitas, dan mengolah raga bagi sang atlet...jadi urusan kesekian....

    BalasHapus