“Kalau saja ada partai politik yang mengusahakan disiarkannya Liga Inggris di televisi kita, pasti saya akan memilihnya...” Pesan pendek itu datang dari sahabat saya di Banyumas, Jawa Tengah, mengomentari hilangnya tayangan Liga Inggris di televisi terestrial (baca: tv gratisan) dua musim terakhir.
Musim lalu, Liga Inggris –yang dalam sejarahnya pernah ditayangkan SCTV, TV7 dan Trans 7 tanpa biaya- menjadi hak eksklusif Astro, teve berbayar yang menganggap dirinya cabang dari Astro Malaysia. Astro Malaysia, yang dimiliki Anandha Krishna, salah seorang terkaya di negeri tetangga itu, merupakan pembeli hak siar Liga Inggris wilayah Asia Tenggara dari kroni ESPN dan Star Sports. Jadilah, kita rela dijajah negara tetangga selama setidaknya tiga musim kompetisi Liga Inggris mereka pegang.
Maka, mau tidak mau, sejak Maret lalu, saya berlangganan Astro di kontrakan rumah petak saya di Salemba, Jakarta Pusat. Biaya awalnya hanya mengeluarkan Rp 200 ribu untuk ongkos teknisi memasang parabola. Selain itu, cukup dengan membayar Rp 200 ribu untuk iuran bulanan paket wajib dan paket olahraga. Maklum, sebelum anak saya lahir, saya biasa menyaksikan penampilan Liverpool, klub paling hebat dalam sejarah Liga Inggris itu, dari kafe ke kafe. Bergabung bersama teman-teman Big Reds, kelompok supporter resmi Liverpool di Indonesia.
Hanya sempat menyaksikan sebelas laga Liverpool lewat Astro, Barclays Primier League musim 2007/2008 habis sudah. Saya pun bersiap menunggu musim baru 2008/2009 yang berputar mulai 16 Agustus. Rasa tak sabar muncul. Apalagi “Si Merah” membeli beberapa amunisi baru, dan punggawa Spanyolnya sedang besar kepala setelah menjadi jawara Piala Eropa di Austria dan Swiss.
Tiba-tiba petir itu datang. Bukan dari cederanya si homo Ronaldo atau si tampang kuda Drogba selama tiga bulan pertama Liga Inggris. Tapi karena Astro mengakhiri spekulasi kepemilikan hak tayang mereka atas liga terfavorit di dunia itu. Astro Indonesia, yang berada di bawah bendera PT Direct Vision, pecah kongsi dengan Astronya si Anandha Krishna itu.
Dan keluarlah pengumuman, sebuah televisi berbayar baru bernama Aora TV menjadi pemilik siaran Liga Inggris di tanah air dengan harga sekitar 20 juta dolar Amerika atau Rp 184 miliar. TV kabel bernama resmi PT Karya Megah Adhijaya ini dimiliki Rini M. Soemarno, eks Menteri Perdagangan yang juga kakak si bos Pertamina Arie Soemarno itu. Rini berkongsi dengan saudaranya yang lain, Ongky M. Soemarno, mantan petinggi grup Humpuss. Mereka mengawali kiprah dengan menyabet hak resmi olimpiade, lalu Liga Inggris musim 2008/2009.
Para penggemar bola pun kelimpungan di hari perdana Liga Inggris, apalagi akses berlangganan Aora TV belum didapat. Pencinta Liverpool tak kurang akal dengan menggelar nonton bareng via streaming internet atau menemukan kafe di Blok M yang memiliki akses ke TV Singapura.
Tapi, bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur berlangganan Astro seperti saya? Saya telah menandatangani kontrak, bahwa kalau memutus langganan Astro sebelum satu tahun masa berlangganan, akan kena denda Rp 500 ribu!
Bagaimana pula nasib rekan saya di Banyumas tadi? Atau mungkin di daerah-daerah lain yang tidak terjangkau teve kabel? Atau mungkin terjangkau, tapi tidak memiliki dana untuk berlangganan teve berbayar atau sekedar pergi ke warung internet?
Saat itulah, muncul seruan agar pemerintah menyubsidi tayangan Liga Inggris, dengan alasan “demi kepentingan rakyat banyak”. Sama seperti TVRI akhirnya mengambil alih siaran Oiimpiade Beijing sehingga kita dapat menyaksikan langsung detik-detik Markis Kido dan Hendra Setiawan bersujud saat poin akhir mereka membuahkan emas satu-satunya Indonesia. Tapi, apakah tuntutan agar pemerintah membiayai Liga Inggris tidak terdengar berlebihan?
Ah, seandainya saja para parpol itu ada yang benar-benar peduli soal-soal seperti ini. Dan tidak hanya sibuk mencari artis yang menarik untuk diconteng mukanya di kartu suara. Atau sibuk membuang uang untuk pasang iklan bahwa hidup adalah perbuatan, di mana ada kemauan di situ ada jalan, dan mensyukuri Indonesia tetap berdiri kokoh dari Sabang sampai Merauke (meski tak ada lagi tayangan Liga Inggris gratis...)
Saya membayangkan presiden baru nanti berteriak, “Tidak... Indonesia tetap kokoh berdiri. Sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang tidak ketinggalan aksi Liga Inggris...”
Kamis, 21 Agustus 2008
Sabtu, 09 Agustus 2008
Dua Emas di Beijing?
Jojo Raharjo
Terlalu lama negara ini lapar akan kehormatan di pentas olahraga. Sebuah sarana pencapaian prestasi yang nilainya dapat menutupi citra buruk bangsa dengan indeks korupsi cukup tinggi. Ya, pentas olahraga memang dapat membuat sebuah negara secara instan dikenal dan mendapat respek di jagad ini, melebihi pengenalan dangkal lain atas identitas bangsa itu. Berulangkali Wakil Presiden Jusuf Kalla menyuntikkan semangat kepada para atlet merah putih dengan kalimat yang sama, “Hanya dua hal dapat membuat bendera dan lagu kebangsaan sebuah bangsa dikibarkan di negara lain: kunjungan kepala negara dan medali emas di pentas olahraga internasional.”
Sayang, kebanyakan dari atlet olahraga kita seperti berpuas dengan istilah “hampir menang”. Prestasi timnas sepakbola di bawah asuhan pelatih Belanda Wiel Coerver yang hampir lolos ke Olimpiade Montreal 1976 terus digembar-gemborkan. Saat itu, pada grandfinal kualifikasi zona Asia, Anjas Asmara dkk kalah adu penalti dari Korea Utara di Stadion Utama Senayan. Begitu pula nyaris lolosnya Bambang Pamungkas dkk dari penyisihan grup Piala Asia tahun lalu, seolah menjadi salah satu bukti prestasi era kepengurusan Nurdin Halid. Padahal, saat itu toh Indonesia hanya sekali menang lawan Bahrain dan sisanya dua kali ditekuk Arab Saudi dan Korea Selatan.
Saya masih duduk di bangku akhir Sekolah Dasar saat Jawa Pos menggambarkan euforia Indonesia meraih medali pertama di Olimpiade Seoul 1988. Kala itu, trio pemanah putri asal Surabaya, Makassar, dan Jakarta –Lilis Handayani, Nurfitriyana Saiman, dan Kusuma Wardhani- sukses membawa pulang medali perak dari cabang panahan ronde FITA beregu.
Empat tahun kemudian di Barcelona lebih fenomenal lagi. Sejarah emas terukir saat bulutangkis kali pertama dipertandingkan di Olimpik dan sepasang kekasih Susy Susanti – Alan Budikusuma menjadi yang terbaik di nomer tunggal puteri dan putera. Selain itu, masih ada dua perak yang dipersembahkan ganda Eddy Hartono/Rudy Gunawan, Ardy Wiranata serta satu perunggu perolehan Hermawan Susanto.
Indonesia Raya kembali berkibar di Olimpiade Atlanta, AS, 1996 dengan keberhasilan duet ganda putera Ricky Subagja/Rexy Mainaky, sementara Mia Audina mendapat perak serta ganda Denny Kantono/Antonius Irianto dan Susy Susanti mengantungi perunggu.
Berlanjut di Olimpiade Sydney 2000, ganda Tony Gunawan/Candra Wijaya meneruskan tradisi emas disertai dua perak lain dari bulutangkis atas kerja keras ganda campuran Tri Kusharjanto/Minarti Timur dan tunggal putra Hendrawan. Sealin itu, lifter Lisa Rumbewas menyabet perak serta dua atlet angkat besi lain, Sri Indriyani dan Winarno menyumbang medali perunu.
Empat tahun lalu di Yunani, bujangan Taufik Hidayat menyelamatkan tradisi emas itu diikuti dua perunggu badminton lain dibawa pulang pasangan Eng Hian/Flandy Limpele dan tunggal putra asal Wonocolo Sony Dwi Kuncoro. Di cabang angkat besi, Lisa Rumbewas kembali membawa oleh-oleh sekeping perak.
Bagaimana dengan 2008? Saat olimpiade kembali digelar di Asia, sama seperti saat 1998 Indonesia pertama kali meraih medali olimpik, masihkah tradisi emas itu terjaga? Terutama dari cabang bulutangkis, yang tiga bulan sebelumnya tercoreng malu karena gagal menjadi yang terbaik di ajang beregu Thomas dan Uber Cup di Jakarta.
Optimisme itu seharusnya masih ada. Baik dari Sonny Dwi Kuncoro, ganda campuran Nova Widianto/Lilyana Natsir, atau juga lifter Eko Yuli Irawan dan Sandow Wildemar Nasution.
Vini Vidi Vici. Mestinya kita masih optimis untuk dapat menyaksikan penutupan Olimpik di Stadion Sarang Burung pada 24 Agustus dengan kalungan medali emas di dada para atlet kita. Karena, kalau harapan itu gagal lagi, maka dunia tetap akan mengenal sebuah kepulauan terbesar di Asia Tenggara dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sebagai negara tukang mark-up, pengekspor asap, dan pembalak liar.
Terlalu lama negara ini lapar akan kehormatan di pentas olahraga. Sebuah sarana pencapaian prestasi yang nilainya dapat menutupi citra buruk bangsa dengan indeks korupsi cukup tinggi. Ya, pentas olahraga memang dapat membuat sebuah negara secara instan dikenal dan mendapat respek di jagad ini, melebihi pengenalan dangkal lain atas identitas bangsa itu. Berulangkali Wakil Presiden Jusuf Kalla menyuntikkan semangat kepada para atlet merah putih dengan kalimat yang sama, “Hanya dua hal dapat membuat bendera dan lagu kebangsaan sebuah bangsa dikibarkan di negara lain: kunjungan kepala negara dan medali emas di pentas olahraga internasional.”
Sayang, kebanyakan dari atlet olahraga kita seperti berpuas dengan istilah “hampir menang”. Prestasi timnas sepakbola di bawah asuhan pelatih Belanda Wiel Coerver yang hampir lolos ke Olimpiade Montreal 1976 terus digembar-gemborkan. Saat itu, pada grandfinal kualifikasi zona Asia, Anjas Asmara dkk kalah adu penalti dari Korea Utara di Stadion Utama Senayan. Begitu pula nyaris lolosnya Bambang Pamungkas dkk dari penyisihan grup Piala Asia tahun lalu, seolah menjadi salah satu bukti prestasi era kepengurusan Nurdin Halid. Padahal, saat itu toh Indonesia hanya sekali menang lawan Bahrain dan sisanya dua kali ditekuk Arab Saudi dan Korea Selatan.
Saya masih duduk di bangku akhir Sekolah Dasar saat Jawa Pos menggambarkan euforia Indonesia meraih medali pertama di Olimpiade Seoul 1988. Kala itu, trio pemanah putri asal Surabaya, Makassar, dan Jakarta –Lilis Handayani, Nurfitriyana Saiman, dan Kusuma Wardhani- sukses membawa pulang medali perak dari cabang panahan ronde FITA beregu.
Empat tahun kemudian di Barcelona lebih fenomenal lagi. Sejarah emas terukir saat bulutangkis kali pertama dipertandingkan di Olimpik dan sepasang kekasih Susy Susanti – Alan Budikusuma menjadi yang terbaik di nomer tunggal puteri dan putera. Selain itu, masih ada dua perak yang dipersembahkan ganda Eddy Hartono/Rudy Gunawan, Ardy Wiranata serta satu perunggu perolehan Hermawan Susanto.
Indonesia Raya kembali berkibar di Olimpiade Atlanta, AS, 1996 dengan keberhasilan duet ganda putera Ricky Subagja/Rexy Mainaky, sementara Mia Audina mendapat perak serta ganda Denny Kantono/Antonius Irianto dan Susy Susanti mengantungi perunggu.
Berlanjut di Olimpiade Sydney 2000, ganda Tony Gunawan/Candra Wijaya meneruskan tradisi emas disertai dua perak lain dari bulutangkis atas kerja keras ganda campuran Tri Kusharjanto/Minarti Timur dan tunggal putra Hendrawan. Sealin itu, lifter Lisa Rumbewas menyabet perak serta dua atlet angkat besi lain, Sri Indriyani dan Winarno menyumbang medali perunu.
Empat tahun lalu di Yunani, bujangan Taufik Hidayat menyelamatkan tradisi emas itu diikuti dua perunggu badminton lain dibawa pulang pasangan Eng Hian/Flandy Limpele dan tunggal putra asal Wonocolo Sony Dwi Kuncoro. Di cabang angkat besi, Lisa Rumbewas kembali membawa oleh-oleh sekeping perak.
Bagaimana dengan 2008? Saat olimpiade kembali digelar di Asia, sama seperti saat 1998 Indonesia pertama kali meraih medali olimpik, masihkah tradisi emas itu terjaga? Terutama dari cabang bulutangkis, yang tiga bulan sebelumnya tercoreng malu karena gagal menjadi yang terbaik di ajang beregu Thomas dan Uber Cup di Jakarta.
Optimisme itu seharusnya masih ada. Baik dari Sonny Dwi Kuncoro, ganda campuran Nova Widianto/Lilyana Natsir, atau juga lifter Eko Yuli Irawan dan Sandow Wildemar Nasution.
Vini Vidi Vici. Mestinya kita masih optimis untuk dapat menyaksikan penutupan Olimpik di Stadion Sarang Burung pada 24 Agustus dengan kalungan medali emas di dada para atlet kita. Karena, kalau harapan itu gagal lagi, maka dunia tetap akan mengenal sebuah kepulauan terbesar di Asia Tenggara dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sebagai negara tukang mark-up, pengekspor asap, dan pembalak liar.
Langganan:
Postingan (Atom)