Minggu, 18 Mei 2008

Kado Melas Harkitnas

Uraian kalimat motivator itu masih terpampang di dinding pintu masuk Istora Senayan, tempat turnamen Piala Thomas dan Uber digelar pekan lalu. “Ada Thomas, Ada Uber, piala yang lepas, ayo Diuber! Satu berjuang di lapangan, dua ratus juta doa memberi kekuatan.”

Akhirnya semua kalah. Baik tim Thomas maupun Uber Indonesia urung memberi kado Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional. Meski dipuji setinggi langit karena tampil dengan semangat tinggi, toh Maria Kristin dan kawan-kawan gagal menaklukkan dominasi China di partai puncak. Yang putra lebih melas lagi. Datang membawa berjuta harapan menjadi juara, Sony Dwi Kuncoro dan rekan-rekannya menyerah dari Korea di semifinal.

Saya menjadi saksi, betapa lagu ”Satu Nusa Satu Bangsa” membahana usai kekalahan tim Uber Merah Putih. Para penonton di Istora Senayan pun tetap menganggap anak buah Susy Susanti itu sebagai pahlawan, karena semangat juang mereka dinilai luar biasa. Namun, seperti kata Taufik Hidayat usai kalah dari Leew Hyun-Ill di semifinal, ”A lost is a lost...” Kalah ya kalah...

Kita masih kalah. Kita masih berada dalam sebuah ”negeri jargon”. Seperti maraknya aneka terpaan iklan yang menampilkan sosok para politisi menebar pesonanya menjelang pemilihan umum tahun depan, dengan mencuri momen Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional.

Ialah Soetrisno Bachir, Wiranto dan Prabowo Subianto yang lagi terlanda penyakit “post celebrities syndrome” sehingga merasa perlu membuang miliaran rupiah untuk iklan propaganda pencitraan diri mereka. Menurut pengamat LIPI Hermawan Sulistyo, “post celebrities syndrome” adalah gejala dari orang yang dulu biasa terkenal dan dikerubuti wartawan lalu kini mendadak tenggelam. Lewat berbagai cara, termasuk memasang iklan nan mahal, mereka mencoba mendongrak popularitasnya kembali.

Hidup adalah beriklan… eh, perbuatan. Tiba-tiba saya teringat pada mata kuliah ilmu komunikasi paling dasar, bahwa untuk dapat sampai ke sasaran secara tepat, sebuah pesan harus dibungkus dalam kemasan yang tepat pula. Istilah yang begitu melekat pada kepala saya selaku mahasiswa baru saat itu adalah “packaging”. Paketlah pesan dalam kemasan yang menarik.

Tapi, kemudian menjadi persoalan, bagaimana bila kemasannya justru lebih menonjol daripada isi pesannya? Sehingga kemudian muncul ledekan lain di kalangan praktisi komunikasi, “Ingat, yang penting kesan, bukan pesan!” Sebuah pesan, meski sebenarnya isinya ciamik, bila dipaket secara asal-asalan tidak akan menimbulkan daya tarik bagi khalayak. Sebaliknya, sebuah paket yang menawan mampu membungkus sebuah substansi yang sebenarnya biasa-biasa saja, menjadi memikat nan menggiurkan audiensnya. Masih ingat iklan pemilu 2004, “Kapan lagi punya presiden ganteng?” Nah lo….

Hidup adalah perbuatan, eh... beriklan. Bisakah Anda membayangkan, seandainya ongkos puluhan milyar rupuah untuk perencanaan, produksi, hingga penayangan iklan tadi disumbangkan untuk mengangkat derajat kaum miskin Indonesia dari Sabang sampai Merauke tanpa banyak gembar-gembor? Berapa beasiswa dapat diberikan dengan uang sebanyak itu? Berapa subsidi untuk guru honorer dapat dibagikan dengan lembar-lembar miliaran rupiah? Berapa ton bibit dan pupuk dapat dibagikan untuk petani? Berapa kiloliter solar dapat diterima nelayan yang sulit melaut karena krisis BBM? Dan lain-lain... Tapi, ah masak iya, hari gini masih ada orang berbuat baik tanpa publikasi?

Saya pun terkenang saat beberapa tahun lalu sempat bekerja di sebuah perusahaan jasa konsultasi media dan penyelenggara even milik salah seorang presenter berita televisi ternama. Satu frase yang saya kenal dari mulut si mbak, adalah frase ’uhek-uhek’, untuk mengganti istilah ’basa-basi yang menyebalkan’. ”Ah, acara ini terlalu banyak uhek-uheknya, tidak to the point,” begitu keluhnya melihat deretan sambutan yang membungkus sebuah kegiatan. Atau kali lain, si mbak berteriak keras, ”Jojo, kalau bikin proposal langsung saja, jangan terlalu banyak uhek-uhek...”

Sayang, saat ini kita hidup di tengah sebuah bangsa yang terlalu banyak uhek-uhek dibanding bertindak. Seandainya saja, ungkapan ’sedikit bicara banyak bekerja’ benar-benar kita terapkan, maka kebangkitan Indonesia yang kita dambakan tidak akan butuh waktu terlalu lama lagi.

Bangkitlah Indonesia, mari berbuat, karena hidup adalah perbuatan tanpa pamrih, bukan uhek-uhek semata...

1 komentar:

  1. Itulah dilemanya, bung. Soal Prabowo yang saya tahu, lama sebelum diiklankan, dia sudah "tanpa gembar-gembor" membela petani dengan HKTI-nya. Tapi "tanpa gembar-gembor" itulah yang akhirnya memang tidak pernah dilihat orang, sebab begitu muncul dia langsung mendapat kesan "tau-tau" muncul mencitrakan diri. Dilema memang. Barang bagus kalau tidak diiklankan orang tidak tau. Kalau diiklankan orang mengira foya-foya. Bagi saya, silakan mengiklankan diri, yang penting tidak "black campaign" terhadap pihak lain, dan tidak menebar fitnah. Juga, jangan sok sentimentil membandingkan biaya iklan dengan sembako! Nanti bagi-bagi sembako juga dianggap "tear pesona"? Hendaknya kita menilai secara komprehensif.

    Salam, Nevi

    BalasHapus