Kamis, 01 Mei 2008

Third Time Lucky

Genap sudah dua tim yang bakal berlaga di Final Liga Champions di Stadion Luzhniki Moskow, 21 Mei mendatang. All England Final terjadi dengan bertemunya Manchester United melawan Chelsea, dua tim yang juga sedang berpacu sengit di lintasan perebutan juara Liga Premier Inggris, yang berakhir 11 Mei mendatang.

MU sukses melaju ke partai puncak, yang terakhir mereka alami sembilan tahun lalu, setelah mengalahkan Barcelona 1-0 dalam dua pertandingan. Tendangan geledek Paul Scholes di Old Trafford memupus kesan negatif permainan bertahan tim ‘Setan Merah’ dalam laga semifinal perdana di Nou Camp, sepekan sebelumnya.

Adapun duel yang dilakoni Chelsea jauh lebih dramatis. Setelah meraup gol away dalam partai 1-1 di Anfield, dini hari tadi, tim biru dari London ini menyudahi perjalanan Liverpool lewat keunggulan 3-2 via perpanjangan waktu di Stamford Bridge. Sebuah kemenangan yang memperpanjang rekor sembilan kali tak terkalahkan atas Liverpool di kandang Chelsea, dalam empat tahun di berbagai even kompetisi.

Ini juga menyembuhkan sakit Chelsea yang dua kali dibekuk Liverpool di Semifinal Liga Champions 2005 di Anfield, lewat gol ajaib Luis Garcia, dan 2007, melalui adu penalti nan menyesakkan. “Third time lucky”, ungkapan itu membahana di berbagai media Inggris saat undian mengharuskan Chelsea kembali berjibaku dalam semifinal Liga Champions tahun ini, untuk ketiga kalinya dalam empat musim turnamen paling bergengsi antar klub Eropa itu.

Awalnya, saya tak percaya pada “third time lucky” itu. Apalagi saat di paruh babak kedua, Fernando ‘Si Bocah’ Torres sukses mengakhiri pacekilik gol The Reds, yang sejak 2004 mandul di Stamford Bridge. Kemenangan dan gol terakhir Liverpool di kandang Chelsea dicetak lewat sepekan Bruno Cheyrou, kala The Pool masih ditangani Gerrard Houllier.

“Final Liga Champions ini akan jadi milik Chelsea.” Hampir dua bulan lalu, ungkapan itu datang dari seorang penggemar Liverpool saat kami nonton bareng partai Liga Inggris di Red’s Corner, markas Big Reds, alias kelompok resmi supporter Liverpool di Indonesia. Saat itu, babak perempatfinal Liga Champions pun belum kelar, namun keyakinan sudah tersembul di benak kawan ini. Alasannya sederhana, final ini berlangsung di Moskow, kampung Roman Abramovic, pemilik Chelsea yang menjadi orang kaya di London karena bisnis minyak, namun justru dikejar-kejar tunggakan pajak di negerinya itu.

“Ah, masak sih Liga Champions UEFA bisa diatur seperti itu?” bantahku.

“Lho, jangan salah, Jo. Mafia sepakbola Eropa jauh lebih canggih dari PSSI. Kita ini belum ada apa-apanya,” katanya lagi.

Benar atau tidak, heaven knows. Faktanya, pelatih Liverpool Rafael Benitez merasa kecewa atas panjangnya waktu tambahan dari pengadil Konrad Plautz asal Austria saat laga semifinal pertama, yang membuat John Arne Riise kemudian ‘menyumbang’ sebuah gol bunuh diri sebagai poin plus Chelsea. Fakta lain, di leg kedua, pelanggaran Sammy Hyypia pada Mikhael Ballack dihukum wasit Roberto Rosetti dari Italia dengan eksekusi penalti Lampard, sementara saat poros halang asal Finlandia itu jatuh di kotak terlarang, Liverpool tidak mendapat kompensasi serupa.

Jadi, mana yang benar, “third time lucky”, “mafia sepakbola Eropa”, atau memang Chelsea dan MU adalah dua tim terbaik Eropa tahun ini, sekaligus membalas kesedihan Inggris yang tim nasionalnya gagal berpartisipasi di Piala Eropa di Swiss dan Austria Juni-Juli mendatang?

Ah, ngomong-omong soal kerja keras dan hinggapnya keberuntungan, sebuah pesan masuk ke kotak surat seluler saya, “Pepatah Arab mengatakan Man Jada Wa Jadda, siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan beruntung…”

Selamat menikmati putaran akhir Liga Champions tahun ini, tiga pekan mendatang dan… You’ll Never Walk Alone…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar