Nasionalisme, Profesionalisme, dan Materialisme
Pertengahan pekan lalu, setelah tim bulutangkis Piala Thomas Indonesia berlatih di Istora Senayan, saya mencegat Taufik Hidayat. Setelah mengeringkan peluhnya, tunggal kedua Indonesia itu asyik bercengkerama dengan Natarina Alika Hidayat, puteri hasil pernikahannya dengan Armidianti alias Ami Gumelar, anak mantan Ketua Umum KONI Agum Gumelar.
Saya menanyakan kepadanya tentang arti Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional bagi seorang atlet yang telah berkali-kali mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia. Tak terduga, inilah jawabannya yang terekam di kotak suara saya, “ Saya berharap, momen penting ini dapat menjadikan perubahan di bangsa ini, terutama untuk nasib para atlet yang selama ini telah bekerja keras untuk mengharumkan nama bangsa. Menurut saya, nasionalisme buat seorang atlet jangan diragukan lagi, karena setiap kali bertanding kami membawa nama bangsa. Tapi apa yang diberikan pemerintah dan negara buat atlet selama ini? Nggak ada kan?” Ia kemudian bergegas masuk ke sedan putih bernomor polisi seperti nama isterinya, B 4 MI.
Tak lama, rekan saya seorang jurnalis berjalan mendekat. “Itulah, Jo. Hati-hati kalau ngobrol dengan Taufik. Bisa kena kick balik kamu,” katanya.
Taufik tidak salah. Ia hanya mencurahkan isi hatinya. Dengan caranya. Baru-baru ini, ucapannya juga dimuat di sebuah koran nasional, menuntut pemerintah memberi insentif lebih bagi mereka yang berprestasi di Olimpiade Beijing, Agustus mendatang. “Bonus Rp 1 miliar bagi peraih medali emas itu terlalu kecil. Duit segitu sekarang tidak artinya,” ungkapnya.
Uuuupsss… satu miliar tidak ada artinya? Seribu juta rupiah?
Tapi, mari kita melihatnya secara obyektif. Taufik Hidayat tentu tidak ingin nasibnya seperti Gurnam Singh, seorang pensiunan pelari maraton peraih tiga emas Asian Games 1962 yang menghabiskan usia senja di Medan dengan menjual piala dan medali yang diperoleh saat masa jayanya. Pernah ia menjadi berita di Sinar Harapan karena berada di Jakarta tanpa punya uang cukup. tersendiri.
”Sebagai mantan atlet nasional, saya ingin bertemu dengan Ibu Presiden Megawati,” ujar Gurnam kala itu. Gurnam juga menyebutkan bahwa obsesinya bertemu Mega memang telah ada sejak beberapa tahun lalu. Selagi ada undangan gratis ke Jakarta, Gurnam pun tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Namun apa mau dikata, dengan penampilan yang tak lebih dari seorang ”gelandangan”, Gurnam pun harus menyimpan mimpinya itu. ”Pernah beberapa waktu lalu saya melihat Pak Taufik Kiemas (Suami Megawati/red) jogging di Stadion Madya, namun oleh pengawalnya saya dilarang mendekat,” keluh Gurnam. Padahal, dalam benaknya ia hanya ingin berkeluh kesah dengan Megawati yang tak lain anak Presiden RI pertama Soekarno yang begitu memanjakan atlet nasional di era 60-an.
Gurnam Singh akhirnya meninggal dunia di Blok M, Jakarta, saat berkelahi minta uang yang akan digunakannya untuk mabuk-mabukan.
Taufik tentu tidak juga ingin menjadi seperti seorang mantan juara tinju nasional Bisenti Santoso yang hidupnya terlunta-lunta di Malang. Atau seperti Elyas Pical, juara dunia pertama Indonesia yang sempat dibui karena kedapatan mengedarkan narkoba di sela-sela tugasnya menjaga klab malam. Kini, Eli memang “ditampung” bekerja di Kantor Menpora, tapi tentu itu bukan sebuah pekerjaan layak untuk seorang yang pernah membawa nama Indonesia begitu dihormati di ring tinju.
Taufik, dan juga para atlet bulutangkis lain, telah mengorbankan waktu, tenaga, dan impian sebagai “anak muda normal” dengan berpeluh di lapangan. Tak banyak waktu pacaran dan, apalagi, kuliah. Jadi, tak pantaskah ia menginginkan masa tuanya terjamin? Bagi Taufik, alih-alih bonus Rp 1 miliar, ia memilih mendapat tunjangan yang diberikan setiap bulan hingga akhir hayatnya.
Konsep dana abadi ini, sejauh ini baru diterapkan PSSI, yang secara rutin mengirim uang Rp 75 ribu kepada peraih medali emas Sea Games 1987 dan 1991. Jumlah uang itu kini memang tidak ada artinya bagi Ferryl Raymond Hattu dan kawan-kawan. Tapi, itulah sebuah perhatian, selain bentuk-bentuk lain yang lebih “sustainable”, memberi pekerjaan, misalnya.
Di lapangan bulutangkis yang sama, saya juga menjumpai Rexy Mainaki, mantan pebulutangkis ganda putera Merah Putih yang kini melatih tim Malaysia. Sebelumnya, peraih medali emas Olimpiade 1996 berpasangan dengan Ricky Subagja ini tercatat sebagai pelatih tim Inggris. Soal fasilitas di kedua negara itu, jangan ditanya. Angkanya sudah hampir menembus Rp 100 juta tiap bulan. Belum termasuk fasilitas lain seperti mobil, apartemen, dan pendidikan anak. “Bagi saya main di mana saja sama. Tapi saya harus bersikap profesional, fokus mendukung kerja tim kita. Masak kalau pukulan pemain Malaysia masuk saya diam, sementara kalau Indonesia dapat angka saya malah kasih tepuk?” kata nyong Ambon yang pertama kali memperkuat Indonesia di Piala Thomas saat Malaysia menjadi tuan rumah 1992 ini.
Di lapangan Istora itu pula ada sepasang suami isteri peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992, Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Pasangan yang menikah sebelas tahun lalu ini hadir dengan kapasitas masing-masing. Alan sebagai Wakil Ketua Panitia turnamen Thomas dan Uber Cup, sementara Susi menjabat Manajer Tim Uber Cup Indonesia. Mereka berdua juga dikenal karena bisnis alat-alat olahraga, khususnya raket badminton, bernama Astec, singkatan dari “Alan Susi Technology”.
Olahraga memang tidak semata karena hobi. Keringat, dan terkadang darah, menuntut penghargaan yang layak dari pihak-pihak yang dibela. Tengoklah kisah para pemain Levante, klub gurem di La Liga Spanyol, pekan lalu. Sebelas pemain Levante tidak bergerak saat peluit kick-off dibunyikan wasit dalam partai melawan Deportivo La Coruna. Sebelas pemain Levante ngambek di tengah lapangan sambil bergandeng tangan karena gaji mereka belum dibayar klub terlilit hutang yang pasti terdegradasi musim depan itu. Aksi para pemain Levante ini mendapat tepuk-tangan dari para pendukungnya yang juga tengah prihatin. Sementara itu, tindakan sportif dilakukan pemain Deportivo saat gelandang Sergio Gonzalez membawa bola melewati pemain Levante yang hanya diam dan menembakkan bola keluar garis gawang.
Profesionalisme dan jaminan hidup tak bisa dipisahkan dari urusan nasionalisme dan sportivitas olahraga. Di mana hati senang, pikiran tenang, di situlah kemenagan akan datang.
Selamat berjuang para atlet, maju terus Tim Thomas Cup Indonesia.
Atlet kan juga butuh uang untuk masa depan.
BalasHapus