Inspirasi Bang Ali
Untuk Think Sport pekan ini, izinkanlah saya mengutip tulisan Kompas, mengenai figur almarhum Ali Sadikin. Bang Ali dikenal sebagai figur pemimpin yang tegas, penuh karisma, tanpa kompromi, dan langsung turun ke bawah, seperti pengalamannya menangkap langsung pencopet di bus kota di hari-hari awal kepemimpinannya di Jakarta.
Saat saya melayat sekaligus meliput di rumah duka di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, pekan lalu, berbaur aneka tokoh. Mulai mantan tahanan politik, budayawan, jenderal, sampai presiden. Kompas menulis sisi lain dari Bang Ali saat bersentuhan dengan dunia olahraga. Simaklah:
Ketika menjabat sebagai ketua umum PSSI antara 1977-1980, Ali Sadikin (almarhum) pernah marah besar. "Kalau ingin melihat pemain bersabar, bentuk saja kesebelasan malaikat!" Ungkapan Letjen TNI/Marinir ini keluar saat timnas Indonesia gagal di
semifinal SEA Games 1977 di Kuala Lumpur. Para pemain Indonesia disingkirkan oleh Thailand setelah para pemain kedua kesebelasan terlibat perkelahian pada pertandingan yang dipimpin pengadil dari Malaysia.
Pemain timnas Indonesia, Andi Lala terkena kartu merah dan kapten kesebelasan saat itu, Iswadi Idris terlibat pertikaian dengan penonton Malaysia. Bahkan penjaga gawang Ronny paslah yang terkenal sabar pun terpancing emosinya atas keputusan yang diambil wasit. Tayangan langsung melalui TVRI saat itu langsung "membakar" emosi rakyat Indonesia. Tidak terkecuali Ali Sadikin yang saat itu menjabat sebagai ketua umum PSSI. Ketika ada pihak yang mengritik emosi para pemain Indonesia yang dianggap labil, Ali Sadikin langusng mengeluarkan istilah "kesebalsan malaikat" itu.
Ali Sadikin terpilih sebagai ketua umum PSSI lewat Sidang Luar Biasa (SLB) Majelis Permusyawaratan PSSI menggantikan ketua umum lama, Bardosono dan akan menjabat antara 1977 hingga 1981. Sebelumnya, saat masih menjadi penjabat Gubernur DKI Jakarta (1977) Ali Sadikin banyak mengritik perkembangan sepakbola nasional di bawah ketua umum lama, Bardosono.
Pada era Ali Sadikin, PSSI memperkenalkan sepakbola semi pro yang kemudian dikenal dengan nama Liga Sepakbola Utama (Galatama). Mulai bergulir pada 17 Maret 1979 dengan diikuti 14 klub seperti Indonesia Muda, Jayakarta dan Warna Agung. para pemain timnas langsung berbondong-bondong masuk klub-klub semi pro ini.
Kompetisi Galatama sempat menjadi barometer di Asia sehingga menjadi bahan studi banding negara lain, seperti Malaysia dan Jepang. Namun kemudian semakin kehilangan pamornya. Sayangnya, pretasi timnas pun tidak pernah mencapai puncak. Pada SEA Games 1979 di Jakarta, timnas dikalahkan Malaysia di di final. Sementara di Pra Olimpiade 1980, kita berprestasi buruk.
Di era awal Galatama ini pula, isu suap merajalela dan kemudian berimbas pada prestasi timnas. Pada Pra Olimpiade 1980, Indonesia kalah untuk pertamakali dari Brunei dan kalah 1-6 dari Malaysia. Kekalahan yang tidak pernah dialami pada masa jaya PSSI 1950-1970-an. Ali Sadikin sudah mengisyaratakan saat itu ada sesuatu di balik kekalahan-kekalahan tersebut. Ia mengatkan, "Teknis pemain yang hebat dan tinggi tidak ada artinya tanpa disertai dengan jiwa dan kepribadian yang kuat."
Pada 6 Oktober 1980, Ali Sadikin mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PSSI, meski masa tugasnya baru berakhir pada 1981. Saat itu dirinya sedang menjadi sorotan karena menjadi salah satu penandatangan Petisi 50 yang mempertanyakan beberapa pernyataan politik Presiden Soeharto.
Itulah. Mengutip Bang Ali, Kompas benar. Butuh mental juara dan jiwa kepribadian untuk membentuk seorang juara. Tidak cukup dengan keahlian skill dan modal pengalaman. Mental juara dan kesederhanaan. Karena itu, para pemain bola kita pun sebaiknya tidak lantas berlagak menjadi “orang kaya baru”. Dengan harga kontrak dan gaji bulanan yang tinggi, maka ia membeli mobil mewah yang jumlah pemiliknya di Indonesia hanya bisa dihitung jari. Atau berlomba memacari artis. Atau memilih gaya hidup dugem serta berakrab-akrab ria dengan narkoba.
Jadi, kalau di Tambaksari awal 1980-an para pemain berani mati berkostum Niac Mitra sukses memukul Arsenal, maka yang terjadi di Senayan pekan lalu –beberapa jam setelah Bang Ali dimakamkan- adalah anak-anak muda kaya raya yang bengong dipermainkan Oliver Kahn dan kawan-kawan. Tim nasional berlogo Burung Garuda menang… ya.. menanggung malu dipukul Bayern Munich 1-5 di depan puluhan ribu penggila bola kita.
Selamat jalan, Bang Ali… keteladananmu menginspirasi kami. Semoga dari alam baka sana, suatu saat nanti, ruhmu memandang kesebelasan negeri ini dengan pemain-pemain berkarakter dan berkepribadian tangguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar