Bagi Anda yang suka mengotak-atik teori dan praktek ilmu komunikasi politik, hal ikhwal pengalihan isu yang menjadi agenda setting media massa bukanlah hal aneh. Untuk menutupi sebuah pemberitaan yang dinilai kurang menguntungkan penguasa, maka kemudian penguasa mencoba menggulirkan isu lain yang lebih besar, sehingga mendadak menjadi sorotan media dan menenggelamkan isu lama itu. Teori ini benar, meski kadang terlalu berlebihan, untuk mengaitkan satu peristiwa yang kemudian ditumpuki peristiwa besar lainnya.
Sama berlebihannya ketika dalam sebuah aksi solidaritas di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya untuk mengenang meninggalnya aktivis HAM Munir, Oktober 2004 lalu, seorang kawan berujar sinis mengenai meledaknya kantor Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta Selatan, yang terjadi hanya dua hari setelah Munir ditemukan meninggal di atas pesawat Garuda jurusan Jakarta-Belanda. ”Wah, jangan-jangan bom Kuningan ini untuk mengalihkan perhatian kita dari misteri meninggalnya Cak Munir,” katanya.
Bolehlah Anda menganggap guyonan itu berlebihan. Tapi, tumpuk-menumpuk isu memang bukan hal susah, terutama bagi mereka yang memang menguasai ilmu, dan mempunyai kekuasaan secara riil, bagaimana mengontrol media. Di tengah berita naiknya harga bahan pokok muncullah isu NAMRU, di tengah kenaikan harga BBM berita bergeser ke wacana iklan politik, bantuan kompensasi mahasiswa dan penyerangan polisi ke kampus, belum kelar soal penyerangan polisi ke kampus muncullah aksi anarkis FPI di acara deklarasi ”Menegakkan Indonesia” di Monas, belum tuntas berita penyerangan FPI di Monas, bersiap hadirlah Piala Eropa... Hehe...
Piala Eropa akan menyita perhatian kita antara 7 hingga 30 Juni mendatang. Swiss dan Austria menjadi co-host menjamu 14 kontestan lainnya. Ibarat masakan, hidangan lezat para penggila bola ini sedikit kurang garam tanpa absennya Inggris, negara yang tak hanya mengklaim diri sebagai asal muasal sepakbola, tapi juga memiliki kisah heroik dalam urusan penggalangan massa. Kapten Liverpool Steven Gerrard nyata-nyata mengaku, absen di Piala Eropa tahun ini menyebabkan sakit hati (heartache) mendalam curriculum vitae persepakbolaan.
Seorang sahabat membisikkan alasan humanis di balik kekalahan 2-3 Inggris atas Kroasia di Wembley, sekaligus menamatkan mimpi pasukan Steve McClaren menembus Euro 2008. Saat itu, di tengah hujan deras yang menaungi perjuangan keras Beckham dan kawan-kawan membongkar pertahanan Kroasia, sang pelatih justru enak-enakan duduk di bangku ofisial dengan payung melindungi kepalanya. Ketika kesebelasan Inggris memasuki adegan menegangkan, berkali-kali kamera televisi menangkap McClaren menenggak botol minuman, tanpa sekalipun pantatnya beranjak dari kursi. Ini berbeda dengan tipikal pelatih lain, yang kerap berdiri, lalu berteriak dan hilir-mudik di pinggir lapangan kala timnya mengalami tekanan.
Akhir dari kisah malasnya mantan pelatih The Boro itu sudah kita ketahui: Inggris menanggung malu di kandang, gagal lolos ke Euro, dan McClaren dipecat. Belakangan berhembus kabar, ia mencoba mencari peruntungan lain melatih di negeri kincir angin, jauh dari tanah leluhur yang dikenal sebagai bangsa pekerja keras di lapagan bola. Ya iyalah, dengan fenomena malas bergerak di tengah hujan deras membasahi para pejuangnya seperti itu, klub Inggris mana mau menampungnya?
Tapi, tanpa Inggris, bukan berarti Euro 2008 tidak akan berlangsung. Mari sama-sama kita nikmati perhelatan yang tahun ini digelar untuk yang ke-13 kalinya sejak 1960 pertama kalinya berlangsung di Perancis dan dijuarai Uni Soviet itu.
Satu hal patut Anda catat, sepakbola selalu menghadirkan mujizat, yang tentu saja, tidak mudah ditebak. Namanya juga keajaiban. Masih ingatkah Anda saat 1992 Denmark menjadi juara dengan mengalahkan Jerman 2-0 di final di Swedia? Padahal saat itu tim Dinamit Denmark tampil mendadak dengan menggantikan Yugoslavia yang sebulan sebelum turnamen mendapat skorsing dari FIFA akibat krisis politik di negara itu.
Euro 1996 diawali dengan kampanye ”Football Coming Home” seiring keinginan Inggris menjadi juara di kampung sendiri, tepat 30 tahun setelah mereka menjadi kampiun dunia di Piala Dunia 1966, yang juga berpuncak di Wembley. Endingnya, Alan Shearer dan kawan-kawan menelan pil pahit adu penalti di semifinal, dan gol ajaib pemain pengganti Oliver Bierhoff dalam partai yang pertama kali diberlakukannya sistem sudden deat atau gol emas di perpanjangan waktu.
Euro 2000 yang digelar bersama Belanda dan Belgia sukses membuat Perancis menyandingkan Piala Eropa dengan Piala Dunia yang direbutnya dua tahun sebelumnya di Paris. Inilah masa di mana generasi emas Perancis di bawah kepemimpinan Zinedine Zidane kembali menancapkan kukunya.
Mujizat terbesar tentu, jika Anda belum menderita penyakit lupa ingatan, keberhasilan Yunani menjadi juara empat tahun lalu dengan menyingkirkan tuan rumah Portugal 1-0 di final. Negara liliput dalam jagad bola itu sukses membawa pulang Trophy Henri Delaunay, diabadikan dari nama sekjen pertama UEFA, sebagai oleh-oleh penyelenggaraan Olimpiade di Athena sebulan kemudian.
Jadi, hikmah dan mujizat apa yang akan kita petik dari Euro tahun ini? Spanyol menjadi juara untuk kedua kalinya? Jerman sukses untuk keempat kalinya? Akan muncul negara baru sebagai pencatat sejarah? Atau, jangan-jangan hanya sebagai katarsis dan pengalihan isu dari berbagai kejadiaan menyesakkan di kampung kita? Dan Anda pun ikut-ikutan bersenandung, ”Lupakanlah problema, anggap saja tiada, jangan biarkan terbawa resah di dada, sambutlah Piala Eropa di depan mata...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar