Jojo Raharjo
Hidup adalah perjuangan. Dan, perjuangan tidak boleh berhenti sampai peluit panjang kehidupan benar-benar ditiupkan. Pelajaran itulah yang bisa kita petik dari perjalanan melelahkan tim-tim yang berjuang keras untuk membalikkan keadaan dari ketertinggalan, serta mereka yang ngotot ingin menohok para pengamat sepakbola yang seenaknya saja menganggap timnya sebagai “anak bawang”.
Turki, contohnya. Pada 2002, Hakan Sukur dan kawan-kawan sukses meraih peringkat ketiga setelah menaklukkan tuan rumah Korea 3-2. Di semifinal, Turki membuat Brazil harus bekerja sangat keras sebelum menyingkirkannya dengan kemenangan tipis.
Namun, di Piala Eropa kali ini, tak banyak yang menyangka Turki mampu lolos dari Grup A, dari hadangan Swiss, Ceko, dan Portugal. Dua nama itulah yang semula diprediksikan melenggang dari grup ini. Namun, Turki menunjukkan semangat pantang menyerah yang tak terduga. Setelah takluk 0-2 dari Portugal di laga awal, dua pertandingan berikutnya mereka mainkan dengan indah. Tuan rumah Swiss, negara yang memupuskan harapan Turki tampil di Piala Dunia 2006 Jerman, menahan malu karena menelan kekalahan pahit 1-2, setelah gol Arda Turan di menit 90 membuyarkan keadaan. Sebelumnya, Swiss sempat unggul lebih dulu 1-0 lewat sontekan Hakan Yakin, pemain Swiss berdarah Turkiye.
Begitupula di partai penentu melawan Ceko, tim dengan jumlah gol dan nilai yang sama. Alih-alih harus perpanjangan waktu dan adu penalti, Turki menang 3-2 dengan drama nyaris serupa. Ketinggakan 0-2 lebih dulu, pada 15 menit terakhir sebuah gol Turan dan dua gol Nihat Kahveci mengantar Turki mendampingi Portugal dari Grup A.
Melawan jawara Grup B Kroasia di perempat final, mimpi buruk kembali dihantarkan anak asuh Fatih Terim ini. Dunia seakan kiamat bagi para pendukung Turki saat semenit menjelang perpanjangan waktu usia, sundulan Klasnic menghantar Kroasia unggul 1-0. Namun, tiba-tiba sebuah umpan jauh dari kiper Turki Rustu Reber berbuah manis. Umpan itu disambut tendangan voli Semih Senturk yang menghujam keras gawang Kroasia. Blam.. ganti kepala pelatih Kroasia Slaven Bilic yang serasa pecah ketika adu penalti pun kemudian berpihak pada Turki. Tiga penendang Turki berhasil menunaikan tugasnya, sementara tiga dari empat eksekutor Kroasia gagal berkarya.
”Gol penyeimbang Turki membuat kanmin drop,” itu alasan Bilic. Sebaliknya, Terim berujar, ia memang meminta anak asuhnya tidak menyerah hingga pertandingan benar-benar usai. Begitulah, mantan pelatih AC Milan itu menyampaikan timnya ke gerbang semifinal menghadapi Jerman, sebuah negara yang menjadi tempat imigrasi favorit bagi rakyat Turki.
Di lain pihak, keberhasilan tim non unggulan macam Rusia mengalahkan Belanda juga menghadirkan warna tersendiri. Gus Hiddink, membuktikan dirinya ”lebih oranye” daripada Marco van Basten, yang masih begitu muda saat Hiddink menjadi pelatih klub juara dunia PSV Eindhoven 20 tahun silam.
So, Jerman ketemu Turki di semifinal, dan Rusia menghadapi Spanyol di partai senifinal satu lagi. Di tengah berantakannya skenario babak penyisihan hingga semifinal yang saya susun dua pekan lalu, saya masih bisa tersenyum seandainya partai final akan mempertemukan Jerman melawan Spanyol, tepat seperti ramalan edan saya yang kemudian berharap Spanyol keluar sebagai jawara.
Ah, tapi bukankah Spanyol lolos ke semifinal saja sudah untung? Bukankah mereka mesti terseok-seok di perempatfinal sebelum menang adu penalti lawan Italia, sementara Rusia begitu memukau menggilas Belanda? Jangan-jangan, Rusia yang maju ke partai puncak melawan Jerman, atau (jangan-jangan lagi) Turki membuat sekuel drama lebih dramatis di semifinal?
Ini demokratis, bung. Silahkan berpendapat apa saja. Yang penting, ambil hikmah Piala Eropa dari kisah hero para ksatria bola itu. Bahwa perjuangan hidup tidak benar-benar kelar, sampai peluit panjang benar-benar terdengar. Karena itulah, Queen pernah bernyanyi, ”We’re the champion, my friend... and we’ll keep on fighting til the end…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar