Rabu, 9 Desember, saya mengikuti dua acara yang diawali dengan lagu Indonesia Raya.
Acara pertama, berlangsung di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di kawasan Kuningan, Jakarta . Titelnya, acara puncak peringatan, Hari Antikorupsi Sedunia, yang sejak lima tahun lalu ditetapkan PBB jatuh pada 9 Desember. Meriah sekali suasananya, dihadiri sekitar 20 orang gubernur, termasuk si klimis Hardjuno Darpito yang konon akan menaikkan pangkatnya dari Raja Jawa di Yogya menjadi pemimpin nusantara. Ada juga para Slankers, yang datang karena kelompok musik idola mereka itu tampil sebagai pengisi acara bersama Gigi. Konon, menurut Ketua KPK Antasari Azhar, kedua band ini mengisi acara tanpa dibayar.
Sekilas terpancar rasa kebanggaan semu saat Jaksa Agung Pengawas Dharmono mengumumkan prestasi Indonesia ditinjau dari Indeks Persepsi Korupsi, yang kini berada di posisi 126 dari 180 negara setelah sebelumnya betengger di posisi 140 dari 159 negara.
Klimaks acara ini dirancang pada pembacaan “Deklarasi Antikorupsi Indonesia ”, bunyinya antara lain, “… Kami anak bangsa Indonesia meyakini bahwa korupsi bukanlah budaya bangsa Indonesia, korupsi adalah kejahatan luar biasa, korupsi merampas hak-hak rakyat untuk sejahtera… Pada hai ini, kami menyatakan.. tidak akan melakukan korupsi, menciptakan generasi muda antikorupsi, mengutuk segala bentuk perilaku korupsi, bertekad menjadikan Indonesia sebagai negeri yang bersih tanpa korupsi..”
Tapi, yang menarik bagi saya bukanlah penampilan Armand Maulana, Kaka Bimbim, atau deklarasi ala KPK itu. Saya tercenung saat seorang anak membacakan sebuah puisi. Perempuan kecil itu berasal dari Sekolah Darurat Kartini, yang dikelola Ibu Kembar di kawasan kumuh Jakarta Utara sono. Simaklah kata-katanya bahwa korupsi menghancurka mimpi anak-anak miskin untuk dapat menjadi sarjana, “Kata orang-orang yang mempunyai hati nurani, dampak dari korupsi adalah panjangnya baris kemiskinan, dan korupsi menambah anak-anak bangsa menjadi gelandangan, koruptor adalah sama dengan maling dan rampok… aku ingin koruptor dihukum mati, tanpa peduli pejabat dan orang biasa..”
Ah, seandainya saja WR Supratman tampil langsung di panggung KPK mengiringi nyanyian Indonesia Raya tadi, mungkin dia sudah tertunduk malu mendengar puisi itu. Buru-buru menutup muka tirusnya dengan wadah biola dari jati.
Indonesia Raya kedua terdengar dengan gegap gempita tiga jam kemudian, saat tim nasional Indonesia menjamu Singapura dalam laga terakhir Piala AFF Suzuki di Stadion Gelora Bung Karno. Seperti juga pentas Piala Asia tahun lalu, setiap tim berlambang Garuda main di Senayan, yang paling dikangeni adalah koor massal menyanyikan lagu kebangsaan dari puluhan ribu pendukung pasukan merah-putih. Begitu besar harapan para penonton itu agar harga diri negeri ini dapat terangkat, setidaknya melalui adu kecepatan memasukkan bola dalam gawang.
Anak-anak muda kita yang kaya raya itu, paling rendah mereka digaji 50 juta rupiah per bulannya, berlari ke sana ke mari, diteriaki pelecut semangat tak henti dari penonton yang rela kehilangan uang makannya barang 20 hingga 100 ribu rupiah untuk pengganti tiket dan ongkos transportasi ke stadion.
Asa mereka kandas. Indonesia kalah oleh dua set piece Singapura, yang dikenal sebagai negeri penampung pemain-pemain asing untuk kemudian mendapat naturalisasi di negara pulau itu. Nama-nama seperti Daniel Bennett, John Wilkinson (keduanya asal Inggris), Shi Jiayi (Cina), Mustafic Fahrudin (Serbia), Precious Emuejeraye dan Agu Casmir (Nigeria) dan Alexander Duric (Australia), rela menukarkan warga negara asal mereka menjadi warga Singapur, demi fasilitas dan suasana hidup di negeri yang konon paling bebas korupsi di sekitar Asia itu.
Ah, seandainya saja WR Supratman tampil langsung di pinggir lapangan Senayan mengiringi nyanyian Indonesia Raya tadi, mungkin dia sudah geleng-geleng kepala menyaksikan papan skor di akhir babak kedua. Menyaksikan para jutawan muda yang menggantungkan hidupnya dari bola, ternyata gagal mempertahankan harga diri bangsa ini. Keok oleh negara seupil yang pernah menjadi tempat Gajah Mada mengibaskan debu di kakinya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar