Jojo Raharjo
Harus diakui, Liga Premier Inggris merupakan kompetisi sepakbola dunia yang saat ini paling diminati, termasuk oleh para pencandu bola di Indonesia. Mungkin fenomenalnya hanya bisa ditandingi oleh La Liga, kompetisi bertabur bintang di Spanyol yang sayangnya hingga saat ini belum ada kepastian akses siaran langsung televisinya di Indonesia.
Sejak Liga Premier 2009/2010 belum bergulir pada 15 Agustus lalu, saya telah berkali-kali menghubungi bagian pelayanan dua televisi kabel yang rumornya akan menyiarkan Liga Inggris, yakni sang incumbent Aora TV dan Yes TV, pemain baru televisi berbayar yang merupakan anak perusahaan Telkomvision. Hingga detik-detik akhir peluit awal Liga Premier ditiup Sabtu jam sembilan malam, tak ada kepastian dari kedua televisi mengambil hak siar Liga Inggris, kecuali TV One yang menayangkan partai gratisan, tentu dengan kualitas tim dan jadwal pertandingan sangat terbatas, yakni maksimal hanya dua kali seminggu. Bandingkan dengan televisi berbayar yang bisa menayangkan sampai enam hingga tujuh pertandingan live sepekannya.
Baru setelah sehari bergulir, didapat kepastian bahwa Indovision tiba-tiba menyalip di tikungan. Sebagai pemain lama televisi berbayar, teve kabel di grup MNC ini rupanya piawai dalam soal negosiasi paket olahraga bergengsi itu, di samping soal kesiapaan dana ratusan milyar rupiah tentunya. Maklum, konon untuk membeli paket Liga Inggris selama setahun dari All Asia Sports Network –pemegang hak siar Liga Inggris di Asia Tenggara selama tiga tahun belakangan- butuh duit sekitar Rp 150 miliar!
Setelah melalui berbagai negosiasi rumahtangga, sejak Selasa lalu kediaman saya di kawasan Ciledug akhirnya ikut memasang penggorengan Indovision di tembok pembatas rumah, yang mau tidak mau harus saya pilih sebagai bagian dari keluarga penikmat Liga Inggris secara eksklusif. Memang harus menambah lebih dari dua ratus ribu rupiah pada neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Keluarga kami, tapi setidaknya ada beberapa pertimbangan mengapa saya merasa perlu memasang Indovision demi mengikuti Liga Premier dari rumah.
Pertama, saya merasa Liga Premier, bisa memberi semangat hidup, di tengah kesibukan, kepenatan kerja dan kemacetan Jakarta. Semangat itu datang terutama mengikuti kiprah tim kesayangan saya, Liverpool, bermain dari pekan ke pekan. Memang saya berharap Liverpool bisa melepaskan dahaga gelar juara, sejak titel terakhir direbut pada 1990, tapi yang terlebih penting adalah “mengikuti prosesnya dari pekan ke pekan”. Menang, seri atau kalah, yang penting adalah mengikuti perjalanannya secara langsung.
Kedua, dengan adanya teve kabel di rumah, saya bisa sedikit menghemat biaya, daripada misalnya menonton pertandingan itu di luar rumah. Selama ini, Big-Reds –wadah resmi pendukung Liverpool di Indonesia di mana saya turut menjadi member- biasa menghabiskan malam nonton bareng di sebuah kafe di kawasan Senayan, baik saat pertandingan dihelat malam ataupun dini hari.
Termasuk pada Selasa (25/8) dini hari tadi. Jam dua pagi, saya menonton langsung dari layar kaca perjuangan Liverpool dalam game ketiga di Liga Premier musim ini, Berteman kacang garing dan capucino seduh, saya menikmati detik-detik Liverpool menjamu Aston Villa di Anfield. Akhirnya memang The Reds tumbang 1-3 di kandang sendiri, namun saya tetap puas karena bisa menyaksikannya live, tidak sekadar mengetahui hasil dari internet, cuplikan pertandingan di teve lokal, atau berita di koran.
Lalu, bagaimana perasaan saya atas kekalahan kedua dalam tiga pertandingan pertama Liverpool musim ini? Saudara, saya menggolongkan diri saya sebagai “supporter”, not just a fans. Seorang “pendukung” seharusnya tetap mencintai favoritnya meski tim kesayangannya kalah dan tidak lalu berbalik atau memaki sebagaimana layaknya seorang “penggemar”. Seorang pendukung setia dalam suka dan duka, sebagaimana perasaan kita pada anggota keluarga yang sedang kurang bernasib baik. Sementara itu, seorang penggemar hanya berada di sisi saat idolanya member hasil baik, karena memang tak ada ikatan “keluarga” antara dirinya dengan pujaannya.
Subuh ini, saya memang agak kecewa atas kekalahan Liverpool, tapi bagaimanapun, perjalanan kompetisi masih panjang dan Liga Inggris masih akan menjadi penyemangat kehidupan saya sampai kompetisi itu berakhir Mei tahun depan, dan berlanjut lagi Agustus 2010, berhenti lagi Mei 2011, bersambung lagi Agustus, dan seterusnya.
You’ll Never Walk Alone…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar