Semakin ruwet saja dunia sepakbola Indonesia. Dan keruwetan itu semakin bertambah dengan kasus di Stadion Jatidiri, Semarang, Jum’at (19/2) kemarin. Seperti baru saya baca beritanya di Jawa Pos online, usai pertandingan Divisi Utama antara tuan rumah PSIS menjamu Mitra Kutai Kartanegara, seluruh perangkat pertandingan dibawa ke Poltabes Semarang atas perintah Kapolda Jateng Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo.
Setelah wasit Dedy Wahyudi dari Denpasar meniup peluit panjang tanda pertandingan berakhir, belasan aparat berpakaian preman menguntit wasit dan dua asistennya serta pengawas pertandingan ke ruang ganti. Usai berganti pakaian, keempatnya diangkut dengan mobil polisi ke Polwiltabes Semarang untuk menjalani pemeriksaan. Selain wasit Dedy Wahyudi, ikut pula diciduk asisten wasit I Fajar Riyadi (Yogya), asisten wasit II Sutopo (Surabaya), dan Penagwas Pertandngan Khairul Agil.
Kapolda mencurigai wasit bertindak tidak adil saat memimpin laga yang dimenangkan PSIS 2-0 itu. "Mereka akan saya periksa, banyak keputusan yang tidak adil selama babak pertama. Ini bisa membuat pemain berkelahi di lapangan dan berpotensi rusuh. Setelah pertandingan, mereka diperiksa," ujar Kapolda dengan raut muka marah.
Kapolres Semarang Selatan AKBP Nurcholis saat dihubungi Jawa Pos mengatakan, wasit diperiksa karena dicurigai menerima suap sehingga keputusannya banyak menguntungkan PSIS. "Kami sedang interogasi, kenapa kok mudah sekali dia mencabut kartu merah dan banyak keputusan lain yang tidak adil. Barangkali saja dia menerima suap, kami akan dalami itu," papar Nurcholis.
Untuk Anda yang sedang terheran-heran dengan kasus ini, jangan dulu terlalu kaget. Mari kita buka kembali rekam jejak Alex Bambang Riatmodjo yang menjadi orang nomer satu di Mapolda Jateng sejak November 2008. Pada 12 Februari 2009, pemain Persis Solo Nova Zaenal dan pemain asing Gresik United Bernard Momadao ditahan di rumah tahanan Poltabes Surakarta setelah ditetapkan sebagai tersangka melanggar pasal 351 ayat (1) jo pasal 352 KUHP.
Keduanya ditangkap di lapangan saat berkelahi dalam pertandingan Divisi Utama di Stadion R Maladi, Solo yang disaksikan Kapolda Jawa Tengah Irjen Alex Bambang Riatmodjo. Setelah menjalani serangkaian sidang melelahkan hampir setahun, Nova Zaenal dan Bernard Mamadou akhirnya dijatuhi hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.
Weeeiittss.. bisakah Anda bayangkan dua kejadian itu? Wasit yang dianggap tidak fair memimpin pertandingan diciduk ke kantor polisi, demikian pula dua pemain bola yang berkelahi di lapangan harus diproses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) polisi dan menjadi pesakitan di pengadilan. Ingatan saya tiba-tiba melayang pada peristiwa 25 Juni 1997 saat Mike Tyson dua kali menggigit kuping Evander Holyfield di ronde ketiga dalam perebutan sabuk juara dunia tinju kelas berat dunia.
Saya membayangkan, seandainya pertarungan Tyson dan Holyfield digelar di Stadion Manahan Solo atau di Lapangan Simpang Lima Semarang dan disaksikan Kapolda Jateng Alex Bambang Riatmodjo, bisa jadi setelah menciak telinga lawannya, Mike Tyson segera menjalani proses verbal di polsek terdekat.
Bukan dua kejadian itu saja Kapolda Alex bertindak terlalu jauh dalam pertandingan sepakbola Liga Indonesia. Ketua Komisi Disiplin PSSI, Hinca Panjaitan, sewot bukan kepalang saat ada intervensi pihak luar di sela-sela pentas Liga Super antara PSIS menjamu Persijap Jepara pada 15 Februari 2009. Komdis menilai hukum pertandingan sepakbola bersifat universal, memiliki aturan tersendiri yang tidak bisa dicampuri pihak luar.
Sebelum pertandingan antara PSIS melawan Persijap Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol. Alex Bambang Riatmodjo berdiri di lapangan dan berbicara di hadapan penonton, wasit, ofisial pertandingan, dan pemain dengan mikrofon. Ia mengingatkan kepada pemain, ofisial tim, dan penonton supaya jangan melakukan tindakan kekerasan di lapangan.
"Kalau ada yang terbukti melakukan tindakan kekerasan tentunya akan kita proses sesuai hukum yang berlaku baik untuk penonton, pemain, dan ofisial tim," katanya di Stadion Jatidiri Semarang. PSSI akhirnya menganulir pertandingan yang berakhir 1-1 itu. Namun, sampai kompetisi berakhir, perintah Komdis agar panitia menggelar pertarungan ulang tidak terwujud karena polisi tidak menyetujui izin pertandingan.
Peristiwa “memberikan himbauan di lapangan bola” diulanginya pada Januari 2010 saat PSIS menjamu Persikab. ’’Saya meminta kepada para pemain Persikab dan PSIS, juga perangkat pertandingan agar mempertontonkan sepakbola yang fair play. Kalau kedua tim main cantik, wasit memimpin dengan tegas, penonton menikmati pertandingan tersebut,’’ ujar Kapolda
Kepada media, Kapolda Alex membantah melakukan intervensi. “Tidak benar saya intervensi. Apalagi, ada bahasa politis, saya dikatakan intimidasi. Saya bicara baik-baik agar pertandingan tersebut aman,” katanya Pun demikian dengan kejadian beberapa hari sebelumnya, saat menangkap Nova Zaenal dan Bernard Mamadou serta menahan dan membawa mereka ke pengadilan dengan tuduhan penganiayan.
“Ini dinamika penegakan hukum di mana saya ingin menjadi polisi yang konsisten pada hukum. Dukungan mengalir deras ke saya. Tak hanya dari Indonesia, teman-teman polisi dari luar negeri juga mendukung langkah saya. Kapolri juga mendukung saya. Regulasi sepak bola tak mandiri sepenuhnya dan tidak bisa menganulir aturan pidana. Tidak ada tempat yang steril di Indonesia ini dari hukum negara,” papar jenderal kelahiran Kediri 54 tahun lalu itu.
Boleh saja Alex berpendapat begitu. Tapi dalam olahraga sudah ada “rule of games” nya sendiri. Soal himbauan agar pemain sportif dan wasit jujur, itu sudah menjadi ‘domain’ nya panitia pelaksana pertandingan dan PSSI. Kalau pemain berkelahi ya dikartu merah wasit, selanjutnya bisa dihukum denda atau diskorsing Komisi Disiplin PSSI.
Kalau wasit dinilai tidak adil karena condong berpihak ke tuan rumah, ya adukan saja protes ke Komisi Disiplin, lalu nanti akan digelar investigasi dan sidang. Kalau tidak puas dengan keputusan Komdis, masih ada Komisi Banding. Begitulah aturannya. Jangan sedikit-sedikit tangkap, proses, tahan, dan adili, komandan…
Alex Bambang Riatmodjo pernah menjabat Kasatserse Polwiltabes Surabaya, Kapolres Bekasi, Direktur Reserse Umum Polda Metro Jaya, dan Kapolwiltabes Bandung. Saat Hutomo Mandala Putera menjadi buronan, Alex yang saat itu menjabat Kepala Direktorat Pidana Umum Mabes Polri masuk dalam tim lima dengan tugas menangkap Tommy hidup-hidup.
Sudah lama beredar bisik-bisik kencang, Alex merupakan orang dekat Susilo Bambang Yudhoyono. Saat SBY menjabat Menko Polkam di era Presiden Megawati, Brigen Alex dipercaya menjadi Asisten Menko Polkam. Selanjutnya, saat SBY melaju ke Istana dan Menko Polhukam dijabat Widodo AS, Alex yang sudah menambah bintang menjadi Irjen dipercaya sebagai posisi Deputi VII Menko Polhukam Bidang Komunikasi dan Informasi.
Dari Medan Merdeka Barat kantor Polhukam, Alex sempat kembali ke Mabes Polri menjabat Kepala Divisi Telematika. Itulah jabatan elitnya sebelum pindah ke Semarang menjadi Kapolda Jateng menggantikan Irjen Pol FX Sunarno. Ketika ramai-ramai penggantian Kabareskrim Susno Duaji, nama Alex sempat mencuat, sebelum akhirnya teredam dan Susno merekomendasikan Ito Sumardi menduduki posnya itu.
Kalau Anda pencinta olahraga, terutama sepakbola dan gerah dengan bagaimana polisi menerapkan hukum pidana atas kejadian di lapangan hijau, jangan lupa simak kelanjutan karir perwira tinggi yang sedang memasuki masa-masa cemerlang dalam karirnya ini…
kegerahan terhadap pak komandan semakin menjadi ketika menonton final piala indonesia 2010 di stadion manahan,dengan sombongnya ataw sok tau pak komandan polisi jateng itu mengatakan wasit tidak adil dan berat sebelah,kemudian memberikan nasehat agar wasit lebih adil memimpin jalannya pertandingan.yang jadi pertanyaan adalah,sejak kapan di akademi kepolisian diajarkan pelajaran menilai kepemimpinan wasit sepakbola?????????????
BalasHapus