Pelatih Tim Nasional Indonesia, Alfred Riedl mengumumkan 25 pemain Timnas Pra Piala Dunia 2014 dan 25 pemain Timnas U-23 untuk gelaran Piala AFF Junior. Berita besarnya kembali menyorot ogahnya Riedl memanggil pemain ber-KTP Liga Primer Indonesia (LPI). Termasuk Irfan Bachdim.
Produk LPI tak hanya Irfan Bachdim, selebritis bola kita yang selalu jadi sasaran utama kamera, tapi juga sederet nama lain. Ada Kim Jefry (Persema), Syamsul Arif (Persibo), Sansan Fauzi, Hendra Bayauw (Jakarta FC), Rendy Kurniawan, Taufik, Andik Vermansyah (Persebaya), dan nama-nama lain.
Alasannya tegas: LPI belum diakui oleh PSSI –dan FIFA tentunya. Bahasa kerasnya lagi: LPI ilegal. "Pemain-pemain seperti Irfan Bachdim dan Kim Jeffrey akan mendapat kesempatan yang sama jika status LPI sudah jelas," kata Wolfgang Pikal, pria asal Austria yang kembali menjadi asisten Riedl.
Tentu ini sebuah vonis yang menyakitkan bagi LPI, yang saat ini tengah dalam proses duduk semeja dengan Komite Normalisasi. Bahkan, LPI sampai menunda perhelatan putaran keduanya begitu lama, dari rencana Juni menjadi September nanti. Selain menunggu bulan puasa dan Lebaran lewat, faktor utamanya tak lain karena menanti hasil Kongres PSSI dan keabsahan mereka.
Atas belum jelasnya status pemain LPI, Riedl mengaku siap mengubah keputusannya setelah Kongres 9 Juli mendatang. Dengan demikian, jika kongres menghalalkan LPI, maka para pemain produk LPI bisa dipanggil tampil dua melawan Turkmenistan, 23 dan 28 Juli nanti.
Yang lucu lagi, Deputi Bidang Teknis BTN, Iman Arif menegaskan pemanggilan untuk timnas senior dan U-23 diundur, dari jadwal semula 3 Juli, menjadi setelah kongres PSSI. “Pemanggilan ini juga menunggu hasil Kongres 9 Juli mendatang,” kata Iman.
Belajar pada Sejarah
Tim nasional Indonesia dan organisasi PSSI menang tak bisa dipisahkan. Tapi, seharusnya urusan tim nasional tak harus terkait dengan, sedikit-sedikit, menunggu hasil kongres. Namanya Timnas Indonesia adalah gabungan pemain terbaik ber-KTP Indonesia, di manapun ia bermain.
Jangan sampai kisah Piala Dunia 1938 –yang dalam beberapa kesempatan kita bangga-banggakan itu- terulang lagi. Hingga saat ini, itulah satu-satunya kesempatan Indonesia tampil di supremasi sepakbola tertinggi dunia. Padahal, tim yang berangkat ke Perancis itu merupakan tim boneka bentukan pemerintah Hindia Belanda, dan bukan tim Indonesia sebenarnya. Indonesia yang tampil dalam sejarah Piala Dunia adalah Indonesia abal-abal.
Pengiriman kesebelasan Nederlandsche East Indies pada Piala Dunia 1938 sempat menjadi masalah. Pasalnya, NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau organisasi sepak bola Belanda di Indonesia bersitegang dengan PSSI yang sudah berdiri sejak April 1930. PSSI yang saat itu masih dipimpin pendirinya, Ir. Soeratin, ingin agar pemain PSSI yang dikirimkan ke Perancis.
Namun, akhirnya yang dikirimkan adalah kesebelasan berbendera NIVU, karena PSSI belum diakui FIFA. Pemain-pemainnya pun bukan pemain PSSI, tapi mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda.
Sekali bertanding, langkah kesebelasan Hindia Belanda hanya sampai di babak penyisihan, karena dipertandingan pertama dikalahkan oleh Hungaria dengan skor 0-6. Hungaria sendiri akhirnya sampai di partai puncak, meski hanya mampu menjadi runner up karena dikalahkan Italia yang menjadi juaranya.
Timnas adalah tim terbaik berisi pemain-pemain terbaik berpaspor Indonesia. Tak peduli liganya sempat beroposisi dengan PSSI, mereka adalah produk terbaik sebuah kompetisi profesional. Maka, kembalikan pemain-pemain terbaik Indonesia dalam deretan pemain berkostum garuda yang membela panji merah-putih menuju Piala Dunia Brazil 2014.
Kalau tidak, jangan salahkan jika Turkmenistan bakal menjelma menjadi Hungaria baru bagi tim Indonesia abal-abal. Sekali main, langsung angkat koper…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar