Jojo Raharjo
Mengawali catatan football evangelist hari ini, saya tak bisa mengelak untuk mengabarkan euphoria kemenangan Liverpool di Reebok Stadium, kandang Bolton Wanderers, Ahad malam kemarin.
Kemenangan itu menjadi catatan penting karena mengembalikan kepercayaan diri Liverpool yang sempat terperosok ke posisi dua dari dasar klasemen.
Kredit besar patut ditujukan kepada Maxi Rodriguez sang penceplos gol tunggal ke gawang Jussi Jaaskelainen di menit ke-86, saat pemain, pelatih, dan penonton pasrah menerima hasil imbang di laga pekan kesepuluh Liga Primer 2010/2011.
"Lovely ball from Lucas, brilliant backheel from Torres, good goal by Maxi…” teriakan komentator ESPN itu serasa memecahkan kebuntuan tengah malam. Sebuah kemenangan berarti, karena menjadi pemecah telur sebagai kemenangan tandang pertama Liverpool di Liga Inggris sepanjang 2010, dan yang pertama dalam 32 pertandingan Roy Hodgson, termasuk saat pelatih gaek masih membesut Fulham.
Maximiliano Rubén "Maxi" Rodríguez, kelahiran 2 Januari 1981, datang sebagai pemain Liverpool pada 13 Januari tahun ini. Tanpa ada biaya pembelian alias free transfer dari Atletico Madrid, klub Liga Spanyol yang dikapteninya semenjak Atleti ditinggal maskotnya yang terlebih dulu bergabung ke Anfield, Fernando Torres. Maxi pun menandatangani kontrak 3,5 tahun, dan mendapat nomer punggung 17, dengan tugas menyediakan pasokan bola sedap bagi kawannya selama dua musim di Vicente Calderon itu.
Lahir di Rosario, kota terbesar di provinsi Santa Fe, Argentina, Maxi punya nama panggilan ‘La Fiera’ atau “The Fierce”, kira-kira artinya binatang liar yang ganas. Empat tahun silam, di Piala Dunia 2006 Jerman, Maxi mencetak gol spektakuler yang meloloskan Argentina dari babak enam belas besar, menyudahi perlawanan Mexico 2-1 lewat babak perpanjangan waktu.
Saat itu menit ke-98, menerima umpan dari Juan Pablo Sorin, Maxi mengontrol bola dengan dada, sebelum kaki kirinya menghujamkan tendangan voli keras dari luar kotak penalti… wuuusss… bola bersarang di pojok atas gawang Oswaldo Sanchez.
Meski tak secemerlang Piala Dunia 2006 yang melesakkan 3 gol, Maxi selalu tampil dalam 5 kali pertandingan di putaran final Piala Dunia 2010, sebelum anak-anak didik Diego Maradona itu dipulangkan Jerman lewat kekalahan 0-4 di perempatfinal.
Di usia hampir kepala tiga, pria yang juga memiliki kewarganegaraan Italia ini membuktikan dirinya belum habis. Terus menyerang seperti layaknya buasnya hewan di alas, Maxi Rodriguez meninggalkan pesan berarti bagi kehidupan. Kalau bisa menang, mengapa seri? Selama peluit akhir belum ditiup, kenapa tidak mencoba bikin gol?
Jawabannya memang tergantung konsistensi kita dalam kehidupan yang kadang tampak ganas ini. Konsistensi untuk terus tidak menyerah. Konsistensi untuk bernafsu membuat hasil positif. Jadi, sudah “maxi”-kah kita memaksimalkan kemampuan kita?
*Teks foto: Maxi Rodriquez, saat direkrut pelatih Liverpool saat itu, Rafael Benitez
*Tulisan di juga dipublikasikan di http://jojoraharjourney.wordpress.com
basically have to point out you come up with several fantastic points and definitely will write-up a variety of options to add in just after a day or two.
BalasHapus