Jojo Raharjo | Photo by Reuter via Yahoo| Apakah Anda termasuk orang yang mencintai seseorang atau sesuatu hanya pada saat berada dalam kondisi menyenangkan saja?
Lalu, apa yang terjadi ketika sayur yang dimasak isteri Anda ternyata kurang asin, ketika nilai raport anak Anda lebih banyak merahnya, ketika klub kegemaran Anda terperosok dalam prestasi buruk, ketika selebritas idola Anda masuk penjara, atau saat organisasi Anda terjerat konflik menyesakkan.
Kalau memang Anda hanya mencintai figur-figur itu dalam kondisi positif, tak ubahnya Anda layak disejajarkan dengan orang-orang yang pada sebulan terakhir disebut sebagai “Mendadak Timnas”.
Mereka yang tak tahu sejarah sepakbola Indonesia tapi tiba-tiba memasang poster Irfan Bachdim di kamar. Mereka yang memuja-muja Cristian Gonzales tanpa pernah berpikir dia adalah pemain bola nan sama sekali tak sempurna. Mereka yang menganggap Markus Haris seolah dialah ‘portiere’ terbaik di negeri ini sepuluh tahun terakhir…
Di Final Piala AFF 2010, harapan itu terlalu berat dibebankan di pundak mereka. Sebesar dan sekencang teriakan belasan supporter yang menyeruduk masuk busway di Halte Karet tadi, saat jarum jam menunjukkan waktu 30 menit menjelang pertandingan dimulai.
“Pak Sopir, cepat, nanti tiketku hangus.Harganya mahal, lho…” “Hooy, cepat, aku nanti duduk di samping SBY…”, “Kalau nggak ada aku, SBY nggak masuk..” “Ayo, yang Indonesia masuk, yang Malaysia turun saja…”
GBK MEMBARA
Sebenarnya asa itu tak pernah salah. Belum pernah kulihat sekeliling stadion ini begitu berlimpah manusia. Layar lebar ditancapkan di penjuru gelanggang olahraga berbentuk “tungku raksasa” yang dibangun Sukarno 48 tahun lalu itu.
Ada penjaja kaos, jagung rebus, siomay dan anak muda berpasang-pasangan dengan tempelan merah putih di dua belah pipi. Inilah pesta rakyat sebenarnya.
Semua memang haus prestasi, haus pahlawan. Dan, ke-14 anak muda yang malam ini bersimbah peluh bukannya tak mau jadi pahlawan. Kapten kesebelasan Firman Utina tentu tak pernah sengaja menendang penalti begitu lemah.
Kiper Markus tak pernah menyangka kembali dipecundangi Mohd Safee Sali. Bek Maman tak pernah menduga, keisengannya menyentuh piala pada permulaan laga di Bukit Jalil berbuah sial, menjadi penyebab dua gol ke gawang timnya.
Sekali di kandang lawan, dan sekali di depan 95 ribu pasang mata yang menyemut di Senayan. Menang 2-1 di rumah tak ada artinya setelah keok 0-3 di negeri tetangga. Dua gol Nasuha dan Ridwan bolehlah jadi penghibur, bahwa setidaknya kita menang dua kali atas Malaysia dalam satu turnamen. Meski akhirnya tak jadi juara.
Tak ada yang disalahkan. Mereka sudah berbuat sekerasnya. Tapi bola yang mahakuasa telah memilih mana tim terbaik. Mereka kalah oleh tim yang mementingkan pembinaan di atas segalanya. Sebuah liga yang tak membolehkan pemain asing mencari nafkah di sana.
TANPA NATURALISASI
Sementara di sini, baik di liga yang sudah ada maupun baru berputar bulan depan, satu tim boleh punya lima pemain impor. Profesionalisme bisa jadi alasan, tapi tentu tak usah menutup mata ada mata pencaharian agen, pengurus, dan mata rantai lain yang tertutup kalau keran ekspatriat itu dihentikan. Mungkin prinsipnya, kalau ada yang benar-benar menguntungkan, bolehlah sekalian diberi hadiah paspor.
“Inilah buah dari keputusan Persatuan Bola Sepak Malaysia, tidak adanya pemain asing membolehkan pemain muda kami lebih berkembang,” kata Krishnasamy Rajagopal dalam jumpa pers usai partai pamungkas.
Pria kelahiran Selangor 54 tahun silam ini tak sedang menggombal, tapi medali emas Sea Games Laos tahun lalu, dan kini Juara Piala AFF membuktikan sistem pembinaan itu.
Malam ini Garuda menang tapi kalah. Tapi, tak selayaknya kita hanya mencintainya ketika mereka berjaya. Kalau tak mau disebut sebagai golongan supporter ‘mendadak timnas’ maka katakanlah kepada lambang Garuda itu.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu,"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar